Fikih Praktis Puasa – Mazhab Syafi’i (Bag 1)

Oleh: Muhammad Sokhi Ashadi & Abdul Latif Ashadi


Menurut terminologi Arab, puasa bearti menahan (imsak). Menurut istilah syara’, puasa adalah meninggalkan atau menahan setiap perkara yang membatalkannya dan disertai dengan niat sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Sedangkan kata “Romadlon”secara terminologi bearti sangat panas (syiddah al-harr). Ada yang mengatakan bahwa dinamakan puasa “Romadlon” karena puasa pada bulan itu mampu membakar dosa-dosa. Hanya saja pendapat ini dinyatakan lemah, karena nama “Romadlon” sudah dikenal sejak zaman jahiliah.

Puasa Ramadlan merupakan salah satu ciri khas (khosho’ish) umat Nabi Muhammad ﷺ. Puasa ini difardlukan pada bulan Sya’ban tahun kedua setelah hijrah. Dalil yang menyatakan wajibnya puasa -sebelum adanya ijma’ (kesepakatan Ulama’)- adalah ayat:

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ [البقرة: 183] 

“Hai orang – orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pada orang – orang sebelum kamu agar kamu menjadi taqwa” (Al-Baqoroh: 183).

Sehingga, barangsiapa mengingkari kewajiban puasa Ramadlan maka ia menjadi kafir, kecuali jika yang bersangkutan baru saja masuk Islam atau hidup di daerah yang jauh dari Ulama’. Dan barangsiapa secara sengaja (dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara’) meninggalkan kewajiban ini -tapi masih menyakini kewajibannya-, maka dia tidak kafir tapi boleh dihukum dan dilarang untuk makan dan minum pada siang hari.

Selama hidupnya, Nabi Muhammad ﷺ sempat berpuasa Ramadlan selama sembilan kali, dan kesemuanya adalah 29 hari kecuali sebulan saja yang berjumlah penuh 30 hari (menurut Syeikh Ibn Hajar al-Haitami). Seperti dalam perkataan Ulama':

وَفَرْضُ الصِّيَامِ ثَانِي الْهِجْرَةِ ... فَصَامَهُ تِسْعًا نَبِيُّ الرَّحْمَةِ
أَرْبَعَةً تِسْعًا وَعِشْرِينَ وَمَا ... زَادَ عَلَى ذَا بِالْكَمَالِ اتَّسَمَا
كَذَا لِبَعْضِهِمْ وَقَالَ الْهَيْتَمِيّ ... مَا صَامَ كَامِلًا سِوَى شَهْرِ اعْلَمِي
وَلِلدَّمِيرِيِّ أَنَّهُ شَهْرَانِ ... وَنَاقِصٌ سِوَاهُ خُذْ بَيَانِي

Penentuan Awal Ramadlan

Penentuan awal Ramadlan dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara, yaitu: dengan 'ala sabilil umum (untuk umum), atau 'ala sabilil hushus (untuk orang tertentu). Perbedaannya adalah, 'ala sabilil umum masih mewajibkan qodho’, sedangkan 'ala sabilil hushus tidak mewajibkan qodho’. Misalnya ada keputusan pemerintah yang menetapkan ('ala sabilil umum) bahwa tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari Kamis. Ternyata ada seseorang yang tidak mengerti tentang keputusan itu, dia baru tahu di hari Jum’at setelahnya, maka dia wajib mengqodho’ puasa yang ditinggalkan, yaitu hari Kamis tanggal 1 Ramadhan.

Penentuan awal Ramadlan dengan 'ala sabilil umum dapat terlaksana dengan salah satu dari dua hal berikut ini;

1- Itsbat dari adanya pengakuan rukyah (mengaku melihat bulan: Iddi’a’ur ru’yah) oleh seseorang yang adil -walaupun cuma satu orang-, dan tidak ada persyaratan harus berani disumpah. Dalam hal ini, pemerintah boleh bersikap hati-hati, dalam arti boleh menolak rukyah yang tidak sesuai dengan hisab. Hanya saja, Pemerintah tidak boleh istbat dengan dasar hisab menurut madzhab Syafi’i, walaupun hisab tersebut boleh dibuat dasar untuk menolak rukyah.

2- Menyempurnakan Sya’ban sampai 30 hari, terhitung mulai dari 1 Sya’ban yang diputuskan pemerintah (istbat) berdasarkan rukyah, atau terhitung dari 1 Syaban yang penentuan 1 Rajabnya juga dari istbat pemerintah yang berdasarkan rukyah. 

Sedangkan 'ala sabilul hushus dapat berlaku dengan salah satu dari lima hal dibawah ini;

1- Rukyahnya seseorang (melihat hilal, ru'yatul hilal) yang tidak lapor atau lapor tapi ditolak oleh pemerintah, atau tidak menetapi persyaratan, maka dia sendiri wajib mengamalkan rukyahnya dan juga orang-orang yang diberi kabar olehnya dengan syarat mereka percaya. Keculai jika rukyahnya orang adil, maka tidak ada persyaratan mempercayainya.

2- Rukyah mutawatir yang ditolak pemerintah

3- Mendapat berita rukyah yang mutawatir atau mendapat berita dari sekelompok orang yang menetapi jumlah mutawatir, yang mereka juga mendapat berita dari orang yang rukyah sejumlah mutawatir. Misalnya ada seseorang diberi kabar oleh 100 orang yang telah rukyah, maka orang tersebut (yang diberi kabar) wajib puasa (menerima).

4- Dengan dasar hisab bagi dirinya (wa-qila wajib) dan orang yang mempercayainya. Tentu dengan hisab yang bisa dipercaya, seperti hisab haqiqi

5- Dengan dasar bintang, berlaku bagi dirinya dan orang yang mempercayainya.
Penentuan awal Ramadlan merupakan hak mutlak pemerintah -bukan hak Kyai (Ulama’)-. Dan keputusan pemerintah tersebut bersifat mengikat bagi semua wilayah daerah kekuasaannya, dalam hal ini disebut kesatuan hukum (tidak menggunakan teori matla’), sehingga satu rukyah di daerah bagian barat bisa dijadikan dasar awal Ramadlan untuk daerah bagian timur walaupun secara teori falak tidak mungkin dirukyah. Tapi karena ini konteksnya adalah fikih, maka dimungkinkan untuk terjadi.

Rukun Puasa

1. Niat

Yaitu berniat menjalankan puasa fardlu (wajib). Syaratnya harus dijatuhkan pada malam hari, yang dimulai  dari masuknya waktu Salat Magrib sampai sebelum fajar (masuknya waktu Subuh). Sehingga jika niat puasa ini dijatuhkan besertaan munculnya fajar, maka tidak mencukupi. Jika setelah melakukan niat, kemudian dia mengerjakan perkara yang membatalkan puasa -kecuali murtad-, maka niatnya tetap jadi. Dalam fikih, tidak ada kesunahan niat bersama-sama yang kumandangkan setelah usai Salat Terawih. Dalam madzhab Syafi’i,  niat ini dilaksanakan setiap (malam) hari, sedangkan Madzhab Maliki masih memperbolehkan niat sekali pada malam pertama untuk satu bulan berikutnya. Sehingga untuk bersikap hati-hati, sebaiknya pada malam pertama bulan Ramadlon kita berniat puasa untuk sebulan penuh.

Bila puasa sunah, niat tidak harus dijatuhkan pada malam hari, tapi boleh dilaksanakan siang hari sebelum zawal (masuknya waktu Dzuhur) dengan syarat sebelumnya tidak melaksanakan perkara yang membatalkan puasa, seperti: makan, jima’, kufur, haid, nifas, dan lain-lain. Walaupun begitu, masih ada satu pendapat yang menyatakan bahwa niatnya tetap jadi walaupun sebelumnya sudah melakukan perkara yang membatalkan puasa, seperti; makan dan minum.

Keraguan-keraguan dalam niat:
  • Bila ragu apakah fajar telah muncul atau belum saat berniat, maka hukumnya tidak apa-apa.
  • Bila keraguan tersebut timbul sebelum niat, maka hukum niatnya tidak sah.
  • Bila ragu apakah sudah niat atau belum (serta tidak ingat) saat setelah terbenamnya matahari (sudah mengerjakan puasa sehari), maka tidak masalah.
2. Menjaga  perkara yang membatalkan puasa (Imsak)

Imsak dimulai masuknya waktu Subuh sampai masuknya waktu Magrib.

3. Mengetahui awal dan akhir puasa.

Mengetahui awal masuknya puasa adalah dengan muculnya fajar, dan akhir waktunya yaitu terbenamnya matahari secara yakin atau dzon (prasangka). Arti yaqin adalah melihat langsung dipantai akan terbenamnya matahari atau melihat langsung munculnya fajar.  Sedangkan arti dzon adalah mengetahui terbenamnya matahari dan munculnya fajar dengan ilmu falak. Jikalau terjadi bertentangan, maka yang dimenangkan adalah yaqin.
Perlu diperhatikah bahwa bila ada orang berbuka puasa tanpa meneliti waktu terlebih dahulu, atau waktunya belum jelas baginya, atau dalam keadaan bimbang, maka tidak sah puasanya karena pada dasarnya (al-ashlu) adalah belum masuk waktu berbuka. Namun sebaliknya, jika ada orang sedang makan sahur tanpa meneliti waktunya terlebih dahulu, atau waktunya tidak jelas baginya, atau dalam keadaan bimbang, maka tetap sah puasanya karena al-ashlu adalah masih malam.
Ketika datang waktu fajar dan di mulut masih ada makanan, maka harus seketika mengeluarkan atau memuntahkan makanan tersebut. Begitu juga jika sedang bersenggama, maka harus segera mencabutnya (Hasyiah al-Bujairomi ‘Ala Al-Khotib: 2/377, Tuhfatul Muhtaj wa Hawasyihi 3/421, Nihayatul Muhtaj 3/175, dll).

Syarat Wajib Puasa

1. Islam,

Orang kafir tidak diwajibkan berpuasa dan ketika masuk Islam tidak diwajibkan meng-qodho’. Sedangkan orang murtad tidak sah berpuasa, tapi sewaktu ia kembali memeluk Islam maka wajib qodlo’.

2. Baligh, 

Anak kecil tidak wajib berpuasa, tapi bila sudah umur tujuh tahun, maka diperintah untuk berpuasa asal sudah kuat. Ketika sudah berumur sepuluh tahun dan masih saja tidak mau berpuasa, maka harus dipukul seperti halnya pada masalah Salat. Walaupun saat masuk baligh, dia tidak wajib meng-qodlo’.

3. Berakal,

Orang gila, mabuk, dan yang tidak sadarkan diri -secara mutlaq- tidak diwajibkan berpuasa. Dan ketika sudah sadar atau waras –bagi orang gila dan orang mabuk-, bila penyebabnya adalah disengaja maka wajib meng-qodlo’, sedangkan jika tidak disengaja maka tidak wajib qodlo’, walaupun masih disunahkan untuk meng-qodlo’ -menurut pendapat yang mu’tamad-. Dalam hal ini, ada juga pendapat yang mengatakan wajib meng-qodlo’ secara mutlak (baik disengaja ataupun tidak). Sedangkan bagi orang yang tidak sadarkan diri, maka wajib qodlo’ secara mutlak walaupun tidak disengaja. Hukum ini berbeda dengan masalah Salat, dimana orang gila, yang tidak sadarkan diri, dan mabuk jika sudah sadar maka tidak wajib meng-qodlo’ Salat.

4. Kuat berpuasa

Orang yang tidak kuat puasa ada dua macam: (i) mungkin secara kenyataan tidak kuat berpuasa, seperti orang sakit. Atau (ii) secara syar’i diangap tidak kuat, seperti wanita yang sedang haidl dan nifas, orang yang sangat tua renta, dimana kesemuanya tidak wajib berpuasa.

Dalam masalah ini, penilaiannya sangat relatif. Satu orang tentunya berbeda dengan yang lain, dan yang tahu hanyalah dirinya sendiri. Terkadang postur tubuhnya kelihatan gagah kekar, tapi tidak kuat menahan lapar dan dahaga seharian penuh. Sementara orang yang posturnya kurus, malah kuat berpuasa.

5. Menetap (iqomah) atau tidak bepergian.

Orang-Orang  yang Tidak Wajib Berpuasa

Dari keterangan di atas, dapat diketahui kategori orang-orang yang tidak wajib berpuasa atau bila sudah terlanjur berpuasa masih boleh dibatalkan. Hal-hal yang sudah maklum,- seperti anak kecil dan kafir asli-, sudah dapat diketahui dari pengecualian syarat-syarat di atas. Yang dibahas pada bab ini adalah orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa dengan beberapa kriteria atau terdapat perincian hukum tertentu.

1. Orang yang bepergian.

Orang yang bepergian disamping diperbolehkan menjama’ dan menqoshor Salatnya, juga diperbolehkan tidak berpuasa, bahkan bila terlanjur berpuasa boleh dibatalkan. Persyaratannya sama persis seperti pada menjama’ dan menqoshor. Hanya saja ditambah satu persyaratan lagi yaitu; sebelum fajar harus sudah melewati batas desa (keluar dari desa tempat tinggalnya). Selama masih diperbolehkan jama’ dan qoshor, selama itu pula diperbolehkan tidak berpuasa, walaupun disunahkan untuk tetap berpuasa kecuali terdapat masyaqqot atau bahaya. Dan jika tidak berpuasa, maka nantinya wajib mengqodlo’.

2. Orang yang sedang sakit.

Orang yang sedang sakit disamping diperbolehkan Salat dengan duduk dan menjama’, juga diperbolehkan tidak berpuasa, bahkan bila sudah berpuasa boleh dibatalkan. Batasan sakit disini sekira diperbolehkan tayamum dalam kaitan Salat, atau ada larangan berpuasa dari dokter. Bahkan bila ada peringatan dari dokter kalau berpuasa akan meninggal dunia dan dia masih saja nekat berpuasa, maka jika ternyata dia meninggal dunia maka termasuk mati bunuh diri.

Beberapa ketentuan bagi orang sakit adalah; bila sakitnya terus menerus maka boleh meninggalkan niat pada malam harinya. Akan tetapi jika sakitnya terputus-putus, maka bila saat sebelum subuh (fajar) sakitnya kambuh, maka boleh meninggalkan niat puasa. Tetapi bila saat fajar kondisi sehat, maka dia harus berniat puasa, dan  jika kemudian kambuh lagi, maka boleh membatalkannya. 

Macam-macam orang sakit:
  • Masih ada harapan untuk sembuh, maka nanti kalau sudah sembuh wajib meng-qodlo’ saja dan tidak ada kewajiban membayar fidyah.
  • Sudah tidak ada harapan sembuh, kewajibannya membayar fidyah, setiap hari mengeluarkan satu mud beras (0,55 kg). Kalaupun ternyata nanti bisa sembuh, juga tidak ada kewajiban qodlo’.
3. Orang yang tidak kuat berpuasa karena suatu alasan (udzur).

Artinya dia dalam keadaan sehat tapi tidak kuat menjalankan puasa karena ada suatu alasan, yang termasuk kategori ini adalah;

~ Wanita yang sedang hamil walaupun dari hasil perzinaan,

Perincian hukumnya ada 3 kemungkinan: (i) tidak puasanya karena khawatir terdapat madlorot (bahaya/kerugian) pada dirinya sendiri atau (ii) khawatir pada dirinya sendiri sekaligus terhadap anak yang dikandungnya,  maka hanya wajib meng-qodlo’ dan tidak ada fidyah. Sedangkan (iii) jika hanya khawatir akan keguguran pada anaknya, maka wajib membayar fidyah sekaligus  qodho’.

~ Seorang ibu yang menyusui walaupun tidak anaknya sendiri. Perincian hukumnya sama dengan wanita yang sedang hamil.

~ Seseorang yang tidak tahan lapar, bila dipaksakan berpuasa akan terjadi madlorrot,

Perincian hukumnya ada dua; bila ada harapan kuat berpuasa, misalnya dia kuat berpuasa pada saat musim dingin, maka dia wajib menqodlo’ saat kuat berpuasa dan tidak ada fidyah. Sedangkan bila tidak ada harapan kuat berpuasa, maka kewajibannya hanya membayar fidyah.

~ Karena menyelamatkan orang lain

Perincian hukumnya, bila yang diselamatkan manusia atau  hewan yang dimuliakan -menurut Agama- yang sedang dalam bahaya, misalnya akan tenggelam, maka wajib membayar fidyah dan wajib meng-qodlo’. Bila yang diselamatkan adalah harta benda, maka hanya wajib meng-qodlo’ dan tidak ada fidyah (Tuhfatul Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-Abbadi 3/443).

[Catatan] Orang yang sudah tua renta yang sudah tidak kuat berpuasa, kewajibannya hanya membayar fidyah, tiap-tiap pagi harinya memberi makan satu mud (0.55 kg) beras pada fakir/miskin.

4. Pekerja berat.

Yaitu orang-orang yang pekerjaannya berat, misalnya petani yang memanen padi (ngedos:jawa), pekerja angkat junjung, pekerja bangunan, sopir, tukang becak dan lain sebagainya, maka boleh membatalkan puasa disaat terdapat masyaqqot yang sekira diperbolehkan tayamum. Dan nanti wajib meng-qodlo’.

Dalam melaksanakan pekerjaan berat tersebut, terdapat beberapa catatan, diantarnya;

  • Bila bekerjanya karena unsur ekonomi untuk keluarga, atau bisa dikatakan kalau tidak bekerja tidak bisa makan, maka diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa dalam bekerja yang hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan pokoknya saja (mencukupi makan dan membeli pakaian untuk menutupi aurot bila dibutuhkan). Dan tidak diperbolehkan meninggalkan puasa untuk memenuhi selain kebutuhan pokok. Di kemudian hari, dia juga wajib meng-qodlo’.
  • Bila unsur bekerjanya karena menjaga stabilitas perekonomian suatu kota atau daerah –sopir misalnya-, maka diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa hanya yang masuk kuota sopir  yang dibutuhkan oleh suatu kota/daerah tersebut. Sehingga sopir selebihnya yang melebihi kuota tidak boleh meninggalkan puasa dan sudah semestinya untuk dirumahkandangkan sementara.
Pekerjaan berat yang diperbolehkan meninggalkan puasa memiliki persyaratan, diantaranya; (i) Dalam kasus petani, persyaratannya ialah jika tidak mungkin menunggu untuk memanen sampai bulan Syawwal, tidak mungkin dipanen pada malam hari, dan kalau tidak segera dipanen akan terjadi kerusakan. Sedangkan (ii) dalam kasus sopir dan sebagainya, persyaratannya ialah disaat tidak ada yang bekerja sebagai sopir atau tukang becak, maka akan terjadi kekacauan, atau roda perekonomian menjadi rusak, serta tidak memungkinkan juga untuk bekerja di malam hari karena sepinya penumpang dan lain sebagainya.

Tata cara pelaksanannya ialah dia tetap niat berpuasa pada malam hari, dan ketika mau berangkat bekerja dia membawa makanan dan/atau minuman, nanti disaat terasa masyaqqot (bila tidak membatalkan puasa, dia akan sakit), baru boleh membatalkan puasanya. Dan perlu diingat bahwa makan dan minumnya hanya diperbolehkan secukupnya saja, tidak boleh berlebihan.

Bersambung ke Bagian 2....

Referensi:


  • تحفة المحتاج في شرح المنهاج للإمام أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي وحواشيه للإمام عبد الحميد الشرواني والإمام أحمد بن قاسم العبادي
  • فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب المعروف بحاشية الجمل
  • التجريد لنفع العبيد = حاشية البجيرمي على شرح المنهج
  • مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج
  • إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين
  • حاشيتا قليوبي وعميرة على شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين للشيخ محيي الدين النووي
  • حاشية البيجوري على شرح ابن قاسم الغزي على متن أبي شجاع
  • الأذكار للامام أبي زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي
  • إحياء علوم الدين للامام أبي حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment