Dari Kontroversi Surah al-Ma'idah [51] hingga Pemimpin Daerah Harus Muslim

Belakangan ini muncul geger-geger yang bermuara dari eksisnya seorang AHOK yang kebetulan beragama non-Islam yang secara kebetulan juga menjadi Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Ditambah lagi dengan munculnya komentar langsung dari AHOK tentang al-Ma’idah (51) yang dianggap sebagai pelecehan terhadap al-Qur’an sekaligus Ulama’. Dari geger-geger itu muncullah komentar, analisis hingga fatwa yang saling berseberangan bahkan menyerang antara pihak satu dengan yang lain. Dalam artikel ini, penulis hanya sekedar membandingkan antara komentar/analisis yang muncul tadi dengan pandangan pribadi penulis yang sebetulnya hanya sekedar berupa kutipan dari kitab-kitab kuning yang mu’tabar. Sebelum masuk ke inti pembahasan, perlu kiranya penulis tekankan bahwa ketika membahas permasalahan hukum Islam, maka kita harus merujuk ke kitab-kitab fiqh yang emang mengakaji tentang itu. Begitu juga ketika membahas masalah tafsir, maka yang menjadi rujukan adalah kitab-kitab tafsir. Begitulah cara para Ulama’ yang sholih yang kita ikuti dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Agama sempurna ini. 
Diantara poin yang penulis anggap perlu untuk dikaji disini ialah:

[1] Apakalah Para Ulama’ memakai al-Ma’idah (51) sebagai dasar ketidak-absahan (atau keharaman) mengangkat pemimpin non-muslim?

Banyak pihak yang mencoba menafsirkan ulang Surah al-Ma’idah (51) dengan beragam sudut pandang, sehingga seolah-olah ayat tersebut tidak menjelaskan tentang larangan mengangkat pemimpin dari non-muslim. Setelah berhasil mencapai kesimpulan yang diinginkan, mereka kemudian dengan ramai-ramai meng-share temuannya itu dan beranggapan bahwa emang benar kalau pelarangan mengangkat pemimpin dari non-muslim itu tidak memiliki landasan atau dalil yang kuat dan shorih.

Sekarang mari kita tengok dan baca dalam kitab-kitab fiqh yang ada. Apa sebenarnya dasar/dalil yang para Ulama’ pakai dalam kaitannya larangan mengangkat pemimipin non-mulsim. Berikut kutipannya:
  • (شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ مُسْلِمًا) لِيُرَاعِيَ مَصْلَحَةَ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ {تحفة المحتاج في شرح المنهاج جـ 9 ص 75}
  • (كَوْنُهُ مُسْلِمًا) لِيُرَاعِيَ مَصْلَحَةَ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ، فَلَا تَصِحُّ تَوْلِيَةُ كَافِرٍ وَلَوْ عَلَى كَافِرٍ { مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج جـ 5 ص417}
  • (قَوْلُهُ: فَيَشْتَرِطُ كَوْنُهُ مُسْلِمًا) لِيُرَاعِيَ مَصْلَحَةَ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ، {أسنى المطالب في شرح روض الطالب ومعه حاشية الرملي الكبير جـ 4 ص 108}
  • أما اشتراط الإسلام فلأنه يقوم بحراسة الدين والدنيا، وإذا كان الإسلام شرطاً في جواز الشهادة، فهو شرط في كل ولاية عامة، لقوله تعالى: {ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلاً} [النساء:١٤١/ ٤]. (الفِقْهُ الإسلاميُّ وأدلَّتُهُ جـ 8 ص 6178)
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa dasar utama disyaratkannya seorang pemimpin harus seorang muslim adalah supaya bisa menjaga kemashlahatan agama Islam sekaligus para pemeluknya. Karena sangat tidak mungkin seorang non-muslim bisa mengerti kemudian bersedia bertindak untuk kemaslahatan Agama Islam dan umat Islam sekaligus. Alasan ini dinyatakan secara gamblang oleh para Ahli fiqh klasik dengan tanpa mengutip satu ayat pun. Karena menurut mereka, logika akal sehat (dalil aqli) sudah mencukupi untuk dijadikan pijakan dalam perkara ini. Silakan dibaca kutipan diatas yang penulis ambil dari Tuhfah al-Muhtaj (9/75) karya Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H), Mughni al-Muhtaj (5/417) karya Imam al-Khathib al-Syirbini (w. 977 H) dan Asna al-Matholib (4/108) karya Syeikh al-Islam Zakaria al-Anshori (w. 926 H) beserta Hasyiahnya karya Imam al-Romli al-Kabir (w. 957 H), yang ketiga-tiganya merupakan kitab utama dan inti dalam Madzhab Imam Syafi’i.

Ulama’ kotemporer yang alim nan ‘allamah, yakni Syeikh Wahbah al-Zuhaili (w. 2015 M) dalam ensiklopedi fiqhnya yang berjudul Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (8/6178) menambahkan bahwa disyaratakannya Islam (dalam kepemimpinan) tak lain karena sang bersangkutan bertugas menjaga keberlangsungan Agama (Islam) sekaligus dunia. Jika Islam menjadi syarat untuk diterimanya syahadah (persaksisan), maka Islam harus menjadi syarat dalam segala kekuasaan yang bersifat umum. Seperti halnya firman Allah: “dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (untuk menguasai) atas orang-orang yang beriman” (QS: al-Nisa’ 141). Sehingga jelas bahwa para Ulama’ Fiqh tidak memakai surah al-Ma’idah (51) sebagai dalil pelarangan mengangkat pemimpin non-muslim, melainkan dengan logika akal sehat (dalil aqli) -dipakai ulama' fiqh klasik dan modern-, serta al-Nisa’ (141) -dipakai ulama' fiqh modern- karena dianggap lebih tegas dan gamblang.

Al-Nisa’ (141) termasuk kalam Khobar (berita) yang bermakna nahi (larangan). Dalam arti Alloh melarang orang mukmin untuk memberi jalan kekuasaan kepada orang kafir di atas orang mukmin. Dalam Ushul al-Fiqh kita mengenal:

أَنَّ تَعْلِيقَ الْحُكْمِ بِالْمُشْتَقِّ يُؤْذِنُ بِعِلِّيَّةِ مَبْدَأِ الِاشْتِقَاقِ 
"Sesunggunya menggantungkan hukum dengan isim yang musytaq memberi pengertian bahwa illat hukumnya ada pada permulaan mashdarnya". 

Atau dengan kata lain, penyebab (illat) larangan pada ayat ini adalah kekufuran.

[2] Bagaimana dengan surah al-Ma’idah (51), apakah dengan adanya beragam asbab al-nuzul menyebabkan beragamnya hukum?

Terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak bisa dengan seenaknya sendiri dan/atau dilakukan oleh orang yang sembarangan. Sejak masa permulaan Islam, Nabi kita shollallohu alahi wasallam telah memperingatkan kita semua dengan keras untuk tidak seenaknya sendiri dalam berbicara tentang al-Qur’an. Beliau pernah bersabda:

مَنْ قَالَ فِي القُرآنِ بِرأيِهِ - وفي رواية: من غير علم -، فَلْيَتَبوأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa berbicara mengenai (arti/isi) Al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri [dalam riwayat yg lain: dengan tanpa ilmu], maka silakan mengambil tempatnya di Neraka" (Hadits Hasan Shohih HR Tirmidzi, Nasa'i, Ahmad dll).

Bahkan al-Syeikh al-Imam Syamsuddin Ahmad Khotib al-Syirbini (w. 977 H) -seorang ulama’ ahli fiqh dan tafsir- sebelum menulis tafsir beliau yang berjudul "al-Siroj al-Munir" (setebal 4 jilid besar/ 6 jilid sedang), terlebih dahulu beliau berziaroh ke Madinah untuk melakukan sholat istikhoroh di Roudloh al-Syarifah untuk meminta petunjuk dari Alloh SWT. Ulama'-ulama' tafsir yang lain juga demikian, sangat berhati-hati didalam menafsiri al-Qur'an. Memang benar di Hari Kiamat kelak banyak orang yang akan memperoleh syafa'at karena al-Qur'an, namun tak sedikit juga yang akan tertimpa laknat karena al-Qur'an. Na'udzu billah min dzalik.

Terkait al-Ma’idah (51), emang benar adanya jikalau ayat ini memiliki beberapa asbab al-nuzul yang disebutkan pula dalam kitab-kitab tafsir yang mu’tabar. Sedikitnya ada tiga ragam yang dicatat terkait turunnya ayat ini, yaitu terkait Ubadah ibn al-Shomit dan Abdulloh ibn Ubay ibn Salul, terkait tindakan Abi Lubabah terhadap Bani Quroidhoh, atau terkait tindakan dua kelompok paska perang Uhud seperti yang disebutkan oleh al-Suddi. Walaupun demikian, menurut para Mufassirin –termasuk Imam Ibn Jarir al-Thobari (w. 310 H)- menyatakan bahwa yang benar ialah memperlakukan keumuman ayat tersebut sesuai dzohiriyahnya. Hal ini sangat sesuai dengan kaidah العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب (yang diakui dan dipakai adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab –turunnya-).

Silakan dibaca dalam Tafsir al-Thobari (10/398-399):

وقد يجوز أن تكون الآية نزلت في شأن عبادة بن الصامت وعبد الله بن أبي ابن سلول وحلفائهما من اليهود ، ويجوز أن تكون نزلت في أبي لبابة بسبب فعله في بني قريظة ، ويجوز أن تكون نزلت في شأن الرَّجلين اللذين ذكر السدي أن أحدَهما همَّ باللحاق بدهلك اليهودي، والآخر بنصرانيّ بالشأم ، ولم يصحّ بواحدٍ من هذه الأقوال الثلاثة خبرٌ تثبت بمثله حجة، فيسلّم لصحته القولُ بأنه كما قيل. فإذْ كان ذلك كذلك، فالصواب أن يحكم لظاهر التنزيل بالعموم على ما عمَّ، ويجوز ما قاله أهل التأويل فيه من القول الذي لا علم عندنا بخلافه. (جامع البيان في تأويل القرآن ، 10/398-399)

[3] Bukankah kata Auliya’ memiliki beragam arti?

Iya, benar. Sedikitnya ada empat makna yang dicatat oleh para Ulama’ terkait kata Auliya’ (atau Wali), yaitu penolong (نصير/معين), sekutu (حليف), teman dekat (صديق) dan pemimpin (وليّ). Akan tetapi, diantara beberapa makna yang ada itu, tidak terdapat pertentangan yang signifikan, sehingga diantara makna tersebut jangan dipertentangkan melainkan harus dikompromikan antara satu dengan yang lain. Begitulah cara yang bijak yang ditempuh oleh para ahli tafsir, yaitu dengan memberlakukan keseluruhan maknanya sekaligus, bukan memilih satu atau dua dari makna yang ada kemudian membuang makna yang lain.

Seperti yang tertulis dalam Tafsir al-Thobari (10/398):

قال أبو جعفر: والصواب من القول في ذلك عندنا أن يقال: إن الله تعالى ذكره نهَىَ المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود والنصارى أنصارًا وحلفاءَ على أهل الإيمان بالله ورسوله وغيرَهم، وأخبر أنه من اتخذهم نصيرًا وحليفًا ووليًّا من دون الله ورسوله والمؤمنين، فإنه منهم في التحزُّب على الله وعلى رسوله والمؤمنين، وأن الله ورسوله منه بريئان. (جامع البيان في تأويل القرآن ، 10/398)

Begitu juga dalam Tafsir Hada’iq al-Rouh wa al-Roihan fi Rowabi Ulum al-Qur’an (4/254) dan (7/340):

- {الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ}؛ أي: أصدقاءً وأنصارًا وأعوانًا (تفسير حدائق الروح والريحان في روابي علوم القرآن 4/254)
- {أَوْلِيَاءَ}؛ أي: أصدقاء وأنصارًا وأعوانًا على أهل الإيمان بالله ورسوله؛ أي: لا يتخذ أحد منكم أحدًا منهم وليًّا. (تفسير حدائق الروح والريحان 7/340)

Tafsir al-Khozin (1/237) dan (2/53):

فأنزل الله يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ فنهى الله المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود والنصارى أنصارا وأعوانا على أهل الإيمان بالله ورسوله وأخبر أنه من اتخذهم أنصارا وأعوانا وخلفاء من دون الله ورسوله والمؤمنين فإنه منهم وإن الله ورسوله والمؤمنين منه براء (لباب التأويل في معاني التنزيل (2/53)

serta dalam kitab-kitab tafsir yang lain.

Perlu diketahui juga bahwa ada beberapa ayat di surah lain yang isinya sama atau mirip dengan al-Ma’idah (51). Ini menunjukkan penekanan dan pengukuhan akan larangan yang dikandungnya. Diantara ayat tersebut adalah:

(QS. Ali 'Imran: Ayat 28):

لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكٰفِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ  ۖ  وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِى شَىْءٍ إِلَّآ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقٰىةً  ۗ  وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۥ   ۗ  وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

(QS. Ali 'Imran: Ayat 118):

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَآءُ مِنْ أَفْوٰهِهِمْ وَمَا تُخْفِى صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ  ۚ  قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْءَايٰتِ  ۖ  إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

(QS. Al-Nisa’: Ayat 141):

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

(QS. Al-Ma'idah: Ayat 51):

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصٰرٰىٓ أَوْلِيَآءَ  ۘ  بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ  ۚ  وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَإِنَّهُ ۥ  مِنْهُمْ  ۗ  إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِينَ

(QS. Al-Mujadilah: Ayat 22):

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْءَاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ  وَلَوْ كَانُوٓا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ  ۚ  أُولٰٓئِكَ كَتَبَ فِى قُلُوبِهِمُ الْإِيمٰنَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِّنْهُ  ۖ  وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهٰرُ خٰلِدِينَ فِيهَا  ۚ  رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ  ۚ  أُولٰٓئِكَ حِزْبُ اللَّهِ  ۚ  أَلَآ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

(QS. Al-Mumtahanah: Ayat 1):

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَآءَكُمْ مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ  ۙ  أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهٰدًا فِى سَبِيلِى وَابْتِغَآءَ مَرْضَاتِى  ۚ  تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا۠ أَعْلَمُ بِمَآ أَخْفَيْتُمْ وَمَآ أَعْلَنْتُمْ  ۚ  وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ السَّبِيلِ

Oleh karenanya, sangat tidak berlebihan jika Imam al-Qodli Iyadl (w. 544 H), seperti yang dikutip oleh Imam al-Nawawi (w. 676 H) pernah menyebut bahwa kepemimpinan harus dari orang Islam merupakan perkara ijma’. Beliau berkata:

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ لَا تَنْعَقِدُ لِكَافِرٍ

Para Ulama’ telah bersepakat (ijma’) bahwa sesungguhnya kepemimpinan (imam) tidak bisa jadi (sah) kalau diisi oleh orang kafir” (Tuhfah al-Muhtaj 9/75).

[4] Bagaimana dengan Wallohu A’lam bi Murodih?

Sangat disayangkan seorang tokoh yang pernah duduk sebagai pimpinan pucuk BaNom NU dengan lantangnya dan sambil melotot-lotot mengatakan jikalau kebenaran hanya datang dari Alloh dan yang paham tafsir hanya Alloh, kemudian dia beralasan dengan mengutip kata Kiainya "wallohu a’lam bimurodih”. Bukan Kiainya yang keliru, melainkan dia sendiri yang salah menempatkan "wallohu a’lam bimurodih”.

Para Ulama’ ahli tafsir memakai “wallohu a’lam bimurodih” hanya untuk ayat-ayat yang mutasyabihat, bukan keseluruhan ayat. Contoh ayat mutasyabihat ialah alim-lam-mim (الم), alim-lam-mim-shod (المص), alim-lam-ro’ (الر), ya-sin (يس) dan yang sepadan dengan itu. Seorang santri yang pernah mengaji Tafsir al-Jalalain pasti tahu akan itu, asalkan kalau ngaji tidak tidur melulu, hehe. Oleh sebab itu, Shohabat yang terkenal sebagai Turjuman al-Qur’an (juru bicara al-Qur’an), yakni Abdullah ibn Abbas pernah berkata:

التَّفْسِيرُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ: وَجْهٍ تَعْرِفُهُ الْعَرَبُ مِنْ كَلَامِهَا، وَتَفْسِيرٌ لَا يُعْذَرُ أَحَدٌ بِجَهَالَتِهِ، وَتَفْسِيرٌ يَعْلَمُهُ الْعُلَمَاءُ، وَتَفْسِيرٌ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهُ

Tafsir itu terdiri dari empat aspek/macam: ada (1) aspek yang diketahui oleh orang Arab karena bahasa mereka, ada (2) tafsir yang tidak bisa diterima jika sampai ada yang tidak bisa memahaminya, (3) tafsir yang bisa diketahui oleh para Ulama', dan (4) tafsir yang hanya diketahui oleh Alloh” (Tafsir al-Thobari 1/70).

Dan wallohu a’lam bimurodih hanya dipakai ketika merujuk kepada aspek penafsiran yang ke-empat, yakni tafsir yang hanya diketahui oleh Alloh, yang oleh ahli tafsir dikategorikan sebagai ayat mutasyabihat.

[5] Apakah Seorang Gubernur termasuk Pemimipin yang Harus Muslim?

Para Ulama’ ahli fiqh –termasuk Imam al-Mawardi (w. 450 H)- membagi semua jabatan yang ada dibawah Khalifah (Presiden) ke dalam empat jenis (al-Ahkam al-Sulthoniyah 49; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu 8/6218). Yaitu:
  1. Pemegang kekuasan umum dengan tugas umum, yaitu terdiri dari Kementerian (wuzaro’) baik tanfidz maupun tafwidl.
  2. Pemegang kekuasaan umum dengan tugas khusus, yaitu para pemimpin daerah (umaro’ al-aqolim).
  3. Pemegang kekuasaan khusus dengan tugas umum; seperti hakim agung, pemimpin pasukan (kapolri atau panglima TNI), penarik pajak dan pengumpul zakat.
  4. Pemegang kekuasan khusus dengan tugas khusus; seperti hakim daerah, penarik pajak daerah, kepolisian daerah (kapolda) dll.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Gubernur termasuk kategori yang kedua, yaitu Umaro’ al-Aqolim (إمارة الأقاليم أو البلاد). Sehingga penulis akan memfokuskan pada kajian seputar umaro’ ini.

Pemerintah Daerah atau al-Imaroh terbagi kedalam dua kategori, umum (Ammah) dan khusus (Khosshoh). Al-Imaroh al-Ammah (الْإِمَارَةِ الْعَامَّةِ) diposisikan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala urusan yang terkait dengan daerahnya, baik berhubungan dengan keamanan, kebutuhan pertahanan, kehakiman, maupun urusan keuangan. Sedangkan al-Imaroh al-Khosshoh (الْإِمَارَةِ الخاصة) adalah pihak yang ditugaskan dalam urusan tertentu, misalnya hanya mengatur pasukan, mengatur administrasi penduduk, melindungi orang-orang yang penting, atau menjaga sesuatu yang perlu dijaga. Al-Imaroh al-Khosshoh sama sekali tidak diperkenankan untuk mengatur urusan kehakiman, penarikan pajak atau pengumpulan zakat. Dari penjelasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa seorang Gubernur menempati posisi pada Al-Imaroh al-Ammah.

Sedangkan terkait dengan persyaratan dari masing-masing Imaroh tadi, para Ulama’ juga sudah mencantumkan secara jelas dalam kitab-kitab karya mereka. Salah satunya ialah apa yang sudah ditulis oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H) dalam kitabnya yang fenomenal berjudul al-Ahkam al-Sulthoniyah (66). Beliau mencatat:

وَيُعْتَبَرُ فِي وِلَايَةِ هَذِهِ الْإِمَارَةِ –اي الخاصة- الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي وَزَارَةِ التَّنْفِيذِ وَزِيَادَةُ شَرْطَيْنِ عَلَيْهَا هُمَا: الْإِسْلَامُ وَالْحُرِّيَّةُ، لِمَا تَضَمَّنَتْهَا مِنْ الْوِلَايَةِ عَلَى أُمُورٍ دِينِيَّةٍ لَا تَصِحُّ مَعَ الْكُفْرِ وَالرِّقِّ، وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهَا الْعِلْمُ وَالْفِقْهُ، وَإِنْ كَانَ فَزِيَادَةُ فَضْلٍ، فَصَارَتْ شُرُوطُ الْإِمَارَةِ الْعَامَّةِ مُعْتَبَرَةً بِشُرُوطِ وَزَارَةِ التَّفْوِيضِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي عُمُومِ النَّظَرِ وَإِنْ اخْتَلَفَا فِي خُصُوصِ الْعَمَلِ. وَشُرُوطُ الْإِمَارَةِ الْخَاصَّةِ تَقْصُرُ عَنْ شُرُوطِ الْإِمَارَةِ الْعَامَّةِ بِشَرْطٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الْعِلْمُ؛

“Persyaratan yang harus ada dalam al-Imaroh al-Khosshoh adalah meliputi syarat-syarat yang harus ada pada Wizaroh al-Tanfidz ditambah dua syarat lagi, yaitu Islam dan harus merdeka. Karena sesuatu yang mengandung kekuasan atas urusan-urusan agama, tidaklah sah jika disertai kekafiran dan perbudakan. Hanya saja posisi al-Imaroh al-Khosshoh tidak harus disertai pengetahuan dan pemahaman yang mumpuni (mujtahid), melainkan hal itu hanya sebatas keutamaan. Sedangkan persyaratan al-Imaroh al-Ammah adalah seperti syarat-syarat pada Wizaroh al-Tafwidl, karena sama-sama menduduki kekuasaan yang bersifat umum, walupun berbeda dalam spesifik tugasnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa syarat pada al-Imaroh al-Khosshoh terhadap al-Imaroh al-Ammah hanya berkurang satu syarat, yakni al-ilm atau pengetahuan (mujtahid)”

Kita tahu bahwa persyaratan yang harus ada pada Wizaroh al-Tafwidl adalah sama persis dengan syarat-syarat pada Imam al-A’dzom (Presiden) yang hanya dikurangi poin nasabnya, yakni tidak harus bernasab Quraish. Dan persyaratan Imam al-A’dzom sendiri meliputi:
  1. Muslim
  2. Mukallaf
  3. Merdeka
  4. Laki-laki
  5. Bernasab Quraish, kalau tidak ada maka secara berurutan: Kinanah, keturunan Nabi Isma’ail, Jurhum, keturunan Nabi Ishaq, baru orang Ajam (non-Arab)
  6. Seorang yang adil, jika tidak ada maka dipilih yang paling sedikit kefasikannya.
  7. Seorang Mujtahid, jika tidak ada maka seorang yang adil tapi bodoh lebih utama daripada seorang yang alim tapi fasik.
  8. Pemberani
  9. Memiliki pemikiran, yaitu untuk memimpin rakyat dan mengatur kemaslahatan mereka baik dalam urusan agama maupun dunia
  10. Memiliki pendengaran, penglihatan dan ucapan.
Silakan dibaca Roudloh al-Tholibin (10/42), Tuhfah al-Muhtaj (9/74-76), Nihayah al-Muhtaj (7/409-410) dan Mughni al-Muhtaj (5/416-421).

Cukup jelas bukan?

Wallohu a'lam bis-showab,

Dhahran, 31-10-2016

Referensi

  1. الأحكام السلطانية ، للإمام أبو الحسن علي بن محمد بن محمد بن حبيب البصري البغدادي، الشهير بالماوردي (المتوفى: 450هـ) ، ط دار الحديث – القاهرة
  2. تحفة المحتاج في شرح المنهاج ، للإمام أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي، مع حاشية الإمام عبد الحميد الشرواني و حاشية الإمام أحمد بن قاسم العبادي (992) ، ط المكتبة التجارية الكبرى بمصر لصاحبها مصطفى محمد
  3. نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ، للإمام شمس الدين محمد بن أبي العباس أحمد بن حمزة شهاب الدين الرملي (المتوفى: 1004هـ) ، مع حاشية أبي الضياء نور الدين بن علي الشبراملسي الأقهري (1087هـ) و حاشية أحمد بن عبد الرزاق المعروف بالمغربي الرشيدي (1096هـ) ، ط دار الفكر، بيروت ، 1404هـ/1984م
  4. مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ، للإمام شمس الدين، محمد بن أحمد الخطيب الشربيني الشافعي (المتوفى: 977هـ) ، ط دار الكتب العلمية ، 1415هـ - 1994م
  5. الفِقْهُ الإسلاميُّ وأدلَّتُهُ (الشَّامل للأدلّة الشَّرعيَّة والآراء المذهبيَّة وأهمّ النَّظريَّات الفقهيَّة وتحقيق الأحاديث النَّبويَّة وتخريجها) ، للشيخ أ. د. وَهْبَة بن مصطفى الزُّحَيْلِيّ، الناشر: دار الفكر - سوريَّة – دمشق
  6. روضة الطالبين وعمدة المفتين ، للإمام أبو زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي (المتوفى: 676هـ) ، تحقيق: زهير الشاويش ، الناشر: المكتب الإسلامي، بيروت- دمشق- عمان ، الطبعة: الثالثة، 1412هـ / 1991م
  7. جامع البيان في تأويل القرآن ، للإمام محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب الآملي، أبو جعفر الطبري (المتوفى: 310هـ) ، المحقق: أحمد محمد شاكر ، الناشر: مؤسسة الرسالة ، الطبعة: الأولى، 1420 هـ - 2000 م
  8. لباب التأويل في معاني التنزيل ، للإمام علاء الدين علي بن محمد بن إبراهيم بن عمر الشيحي أبو الحسن، المعروف بالخازن (المتوفى: 741هـ) ، تصحيح: محمد علي شاهين ، الناشر: دار الكتب العلمية – بيروت ، الطبعة: الأولى، 1415 هـ
  9. تفسير حدائق الروح والريحان في روابي علوم القرآن ، للشيخ العلامة محمد الأمين بن عبد الله الأرمي العلوي الهرري الشافعي ، إشراف ومراجعة: الدكتور هاشم محمد علي بن حسين مهدي ، الناشر: دار طوق النجاة، بيروت – لبنان ، الطبعة: الأولى، 1421 هـ - 2001 م
  10. أسنى المطالب في شرح روض الطالب ، للإمام زكريا بن محمد بن زكريا الأنصاري، زين الدين أبو يحيى السنيكي (المتوفى: 926هـ) ، ومعه حاشية الرملي الكبير ، الناشر: دار الكتاب الإسلامي



CONVERSATION

1 comments: