Tradisi Memuji Sang Baginda Nabi ﷺ Sudah Ada Sejak Dahulu Kala

Sejak zaman jahiliyah, sebelum masa Islam, bangsa Arab sangat terkenal dengan kefasihan dan keindahan sastra bahasanya. Sudah menjadi agenda rutin bagi mereka untuk mengadakan festival atau perlombangan dalam bidang sastra. Tak mengherankan jika seorang penyair pada masa itu tergolong orang yang sangat dihormati dan menempati posisi penting dalam strata masyarakat Arab. Para penyair kala itu suka berlomba-lomba menggantungkan sya’ir mereka di pojok-pojok dan dinding-dinding Bait al-Haram. Hanya orang yang berpengaruh dan mempunyai kedudukan tinggi yang mampu menggantungkan syairnya di dinding-dinding Ka’bah. Diantara penyair yang terkenal pada masa itu adalah Umru’ al-Qais al-Kindi, Zuhair ibn Abi Sulma, al-Nabighah al-Dzibyani, al-A’sya Maimun ibn Qais, Labid ibn Rabi’ah, ‘Antarah ibn Syaddad, ‘Alqamah ibn ‘Abadah, Tharafah ibn al-Abd dan lain-lain. Kandungan dari syair-syair mereka rata-rata berisi seputar pujian (al-madh), cercaan (al-hija’), kebanggaan (al-fakhr), semangat (al-hamasah), ungkapan cinta (al-ghozal/tasybih), permohonan maaf (al-i’tidzar), belasungkawa (al-ritsa’), pensifatan (al-washf) atau berisi petuah bijak (al-hikmah). Salah satu contoh syair ciptaan al-Nabighah al-Dzibyani yang pernah disebut Gus Dur sebagai syair yang mengingkatkan kepada kita betapa sejak dulu politik itu sangat menyakitkan. Para politisi tak segan-segan untuk mencela siapapun walaupun kepada saudaranya sendiri.  Syair tersebut berbunyi:

وَلَسْتَ بِمُسْتَبقٍ أَخاً لا تَلُمّـهُ *** على شعَثٍ، أيُّ الرّجال المهذَّبُ

“Kamu (penguasa/politisi) tidak mungkin menemukan saudara yang tidak kamu cela karena kesalahan kecil sekalipun. Karena apa mungkin ada orang yang tanpa cela (di matamu)?”

Setelah Rasulullah ﷺ dilahirkan dan diutus sebagai rasul untuk pertama kali di Bangsa Arab, kemudian disusul keberhasilan dakwah beliau disana, budaya dan keahlian mereka dalam menggubah syair tak menyusut sedikitpun. Walaupun ada sebagian kecil dari mereka yang dulunya sangat mahir bersyair/berpuisi, kemudian disaat setelah memeluk Islam, mereka tidak lagi menyibukkan diri dengan berpuisi melainkan menggantinya dengan menghafal al-Qur’an. Salah satu dari mereka itu bernama Labid ibn Rab’iah al-‘Amiri –sang penyair terkenal- yang diberi usia panjang sampai 145 tahun dan wafat pada akhir kekhalifahan Sayyidina Utsman ibn Affan. Syair yang terkenal dari beliau serta pernah pula dipuji oleh Rasulullah adalah berbunyi “ala kullu sya’in ma khola Allohu bathilu” (ingatlah bahwa segala sesuatu selain Alloh akan lenyap). Sya’ir ini sebenarnya terdiri dari beberapa baris, hanya saja yang biasa dihafal cuma tiga baris, yaitu:

ألا كُلُّ شيءٍ ما خَلا اللّهُ باطِلُ *** وكلُّ نعيمٍ لا مَحالة َ زائِـلُ
وكلُّ أُنَاسٍ سوْفَ تَدخُلُ بَينَهُمْ *** دُوَيْهية ٌ تَصفَرُّ مِنها الأنَامِـلُ
وكلُّ امرىء ٍ يَوْماً سَيَعْلَمُ سَعْيَهُ *** إذا كُشِّفَتْ عندَ الإلَهِ المَحاصِلُ

“Ingatlah bahwa segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap, dan setiap kenikmatan pasti akan sirna”
“Setiap orang pasti akan didatangi oleh kematian yang mampu memucatkan ujung-ujung jari”.
“Dan setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan mengetahui usahanya, yaitu disaat dibukanya catatan di sisi Tuhan”


Mayoritas dari para penyair –paska memeluk Islam- masih meneruskan bakat dan hobi mereka dalam menggubah syair-syair yang indah nan memukau, walaupun tentu dengan kandungan yang berbeda. Kalau dulu banyak dari mereka menyanjung-nyanjung raja atau kepala suku yang diidolakan, sekarang mereka menggubah syair untuk menyanjung-nyanjung Rasulullah ﷺ yang telah menjadi idola bagi mereka. Mereka juga seringkali menendangkan syair di tengah-tengah peperangan sebagai dorongan dan semangat bagi para pejuang Islam. Begitu juga saat ada tokoh-tokoh Islam yang gugur sebagai syahid dalam peperangan, mereka pun menendangkan syair sebagai ungkapan kesedihan mereka yang mendalam. Semua ini tak lain dikarenakan tidak adanya larangan sama sekali dari Rasulullah ﷺ, bahkan beliau sendiri mengakui (hadits taqriri) dan kadangkala memuji keberadaannya. Walhasil, mereka mampu ikut andil dalam membela Islam tidak hanya dengan pedang mereka, tapi juga dengan lisan mereka.

Dari sekian banyak penyair-penyair yang ada sejak zaman Rasulullah ﷺ sampai masa Arab modern, ada sekitar 454 penyair yang secara khusus menggubah syair untuk menyanjung-nyanjung dan memuji-muji Rasulullah ﷺ. Adalah Dr. Muhammad Ahmad Dzarniqah yang mampu mengumpulkan para pemuji Rasulullah yang berjumlah 454 tersebut dalam karyanya berjudul Ensiklopedi Penyair Pujian Nabi (معجم أعلام شعراء المدح النبوي). Angka itu terhitung sejak Burdah al-Ka’biyah (karya Ka’b ibn Zuhair) sampai burdahnya Ahmad Syauqi (w. 1932 M). Dari sekian banyaknya itu, ada tiga tokoh dari kalangan Shahabat yang paling terkenal sebagai penyairnya Rasulullah ﷺ, yaitu Abdullah ibn Rawahah (w. 8 H), Hassan ibn Tsabit Al-Anshori (w. 54 H) dan Ka’b ibn Malik (w. 50 H).

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Tarikhnya bahwasanya Muhammad ibn Sirin pernah berkata:

وأخرج البخاري في تاريخه عن محمد بن سيرين قال: كان أشعر أصحاب رسول الله صلّى الله عليه وسلّم حسان بن ثابت، وكعب بن مالك، وعبد الله بن رواحة.

“Diantara shahabat Rasulullah yang paling lihai bersyair adalah Hassan ibn Tsabit, Ka’b ibn Malik dan Abdullah ibn Rawahah” (Syarh Syawahid al-Mughni, 1/335; Kanz al-Ummal, 8976)

Sayyidina Abdullah ibn Rawahah termasuk dua belas pemimpin dari golongan Anshar yang ikut baiat Aqabah yang kedua. Beliau termasuk penyair sejak zaman jahiliyah yang kemudian masuk Islam. Beliau sangat terkenal dengan kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah  ﷺ hingga beliau wafat secara syahid. Diantara syair beliau yang terkenal dalam memuju Sang Baginda Nabi ﷺ ialah (al-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, 1/220; Mu’jam A’lam Syu’ara al-Madh al-Nabawi, 1/203):

لَوْ لَمْ تَكُنْ فِيهِ آيَاتٌ مُبَيّنَةٌ *** لَكَانَ مَنْظَرُهُ يُنْبِيكَ بِالْخَبَرِ

“Jikalau tidak ada di dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang terang benderang, niscanya yang tampak darinya (Rasulullah) akan memberitahukanmu akan khabar (kenabian) itu”

Penyair Rasulullah yang lain dan sangat terkenal ialah Sayyidina Hassan ibn Tsabit. Sebelum masuk Islam, beliau menjadi penya’ir kenamaan pada masanya dan seringkali memuji-muji para pemimpin al-Ghassasinah dari Yaman. Setelah masuk Islam beliau menggunakan sya’ir-sya’irnya untuk membela Islam dan memuji-muji Rasulullah ﷺ.  Rasulullah pun seringkali balik memuji beliau, bahkan Nabi pernah menghadiahi beliau seorang budak wanita. Beliau diberi usia yang panjang dan wafat pada masa Kekhalifahan Ali ibn Abu Thalib. Salah satu sya’ir terbaik dalam memuji Rasulullah hasil gubahan beliau adalah (Diwan Hassan ibn Tsabit, 1/21; Al-Mustathraf, 1/236):

وَأَحْسنُ مِنكَ لَمْ ترَ قطُّ عَيني *** وأَجمـَلُ مِنْكَ لمْ تَلدِ النّسـاءُ
خُلقْتَ مُبرّأً مِن كلِّ عَيبٍ *** كأنّكَ قد خُلِقتَ كما تشاءُ

“Dan yang lebih baik darimu belum pernah terlihat oleh mata, dan yang lebih indah darimu belum pernah dilahirkan oleh para wanita”
“Engkau diciptakan bebas dari segala aib, seakan-akan engkau dicipta seperti apa yang engkau inginkan”

Selain yang telah kami sebutkan diatas, masih ada banyak lagi tokoh-tokoh lain dari kalangan shahabat Nabi yang tercatat pernah menggubah syair pujian untuk Baginda Nabi ﷺ. Sesuai penelitian yang dilakukan Syeikh Yusuf al-Nabhani (w. 1350 H), ada sekitar 38 orang dengan total 461 bait syair yang secara khusus digubah untuk memuji-muji Rasulullah saw. Diantaranya ialah Abdullah ibn Rawahah (10 bait syair), Umar ibn Malik al-Khuza’i (6 bait), al-Abbas ibn Mirdas al-Sulami (17 bait), Ka’b ibn Zuhair (40 bait), Hamzah (6 bait), Shafiyah binti Abdul Mutthalib (8 bait), Abu Sufyan ibn Harits (23 bait), Hassan ibn Tsabit (149 bait), Abbas ibn Abdul Mutthalib (8 bait), Hatif (7 bait), Ka’b ibn Malik al-Anshari (25 bait), A’sya dari kabilah Bakr ibn Wa’il (23 bait), Malik ibn Namth al-Hamdani (9 bait), Ashyad ibn Salamah al-Sulami (5 bait), Qais ibn Bahr al-Asyja’i (9 bait), dan lain-lainnya. Untuk lebih detailnya bisa ditelaah karya beliau yang berjudul “Al-Majmu’ah al-Nabhaniyah fi al-Mada’ih al-Nabawiyah” setebal 4 (empat) jilid besar.

Sebagai penutup kami sisipkan disini sebuah bait syair yang berisi pujian kepada Rasulullah ﷺ yang selalu kami baca untuk mengakhiri suatu majlis di pesantren dulu. Syair itu berbunyi:

محمّدٌ بَشرٌ لا كالبشَرِ*** بل هُوَ كالياقوتِ بين الحَجَرِ

“Kanjeng Nabi Muhammad iku menungso, tapi ora koyo jinise menungso. Tapi kanjeng Nabi iku koyo inten, kumpul karo jenis-jenis batu item” (Nabi Muhammad itu manusia tapi tak seperti manusia. Akan tetapi beliau itu seperti batu intan diantara bebatuan).

Dikisahkan bahwa Syeikh Abu al-Mawahib al-Syadzili suatu ketika membaca syair tersebut pada suatu majlis. Kemudian beliau melihat Kanjeng Nabi shollallohu alaihi wasaalam, lalu Nabi bersabda kepada beliau: "Allah telah mengampuni dosamu dan setiap orang yang ikut membacanya bersamamu". Sejak kejadian itu, beliau senantiasa membaca syi'ir ini di setiap majlis sampai beliau wafat. Kisah ini dicatat oleh Imam Abdul Wahhab al-Sya'roni (w. 973 H) dalam Thabaqat al-Kubra (2/151).

Al Khobar, 30 Agustus 2017

Referensi
  • Diwan Hassan ibn Tsabit, dikomentari dan diberi cacatan kaki oleh Abda’ Ali Muhanna, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Lebanon, 1414 H
  • Al-Mustathraf fi Kulli Fannin Mustdhraf karya Baha’uddin Abu Fath Muhammad al-Ibsyihi (w. 854 H), Alam al-Kutub Beirut, 1419 H
  • Mu’jam A’lam Syu’ara’ al-Madh al-Nabawi karya Muhammad Ahmad Darniqah, Maktabah al-Hilal, 1414 H
  • Syarh Syawahid al-Mughni karya Imam al-Suyuthi (w. 911 H), Lajnah al-Turats al-Arabi, 1386 H
  • Al-Majmu’ah al-Nabhaniyah fi al-Mada’ih al-Nabawiyah karya Syeikh Yusuf al-Nabhani, Dar al-Fikr
  • Al-Shifa bi Ta’rif Huquq al-Mushthafa karya al-Qadli ‘Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H), Husein Abdul Hamid Nil (Ed.), Dar al-Arqam, Beirut Lebanon, 1415 H
  • Thabaqat al-Kubra karya Imam Abdul Wahhab al-Sya'rani (w. 973 H), Ahamd Abdurrahim al-Sayih dan Taufiq Ali Wahbah (Ed.), Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah Kairo, 1426 H
  • Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al karya Ala’uddin Ali al-Hindi al-Burhanfuri (w. 975 H), Bakri Hayani dan Shafwah al-Saqa (Ed.), Mu’assasah al-Risalah, 1401 H


CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment