Tepatkah Penyebutan ‘Tamu Allah’ Untuk Para Jamaah Haji?


Sudah menjadi tradisi diantara kita, umat Islam Indonesia, menyebut para jamaah haji sebagai tamu-tamu Allah. Karena mereka menuju dan berziarah ke Baitullah atau ‘Rumah Allah’. Penyebutan seperti itu juga berlaku di Arab Saudi yang notabene menjadi otoritas resmi yang mengelola ‘Rumah Allah’ tersebut. Kalau di Indonesia disebut ‘tamu-tamu Allah’, maka di Arab Saudi terkenal dengan istilah ‘Dluyuf al-Rahman’ atau ‘tamu-tamu Allah yang Maha Pengasih’. Penggunaan istilah itu berlaku hampir di semua situs berita national, majalah, pamflet, baliho, bahkan dipakai pula dalam surat-surat atau pengumuman resmi dari pemerintah setempat. Misalnya saja sebuah SMS massal yang dikirimkan pada 21/08/17 oleh GaStat (General Authority for Statistic/Otoritas Umum untuk Statistik) Arab Saudi juga menyebut demikian. Isi sms-nya adalah:

الهيئة العامة للإحصاء تسعد باستقبال ضيوف الرحمن في منافذ الحج بمكة المكرمة 

“GaStat dengan senang hati menyambut para tamu Allah di outlet-outlet haji di Mekah al-Mukarramah”.

Akan tetapi, perlu kiranya kita teliti ulang apakah penyebutan seperti itu pernah dipakai dalam literatur Islam klasik. Atau barangkali ada istilah lain yang dipakai dalam teks Agama terkait hal yang kita bicarakan ini. 

Kalau kita mempelajari dan mendalami ilmu manasik dari kitab-kitab yang mu’tabar, baik kitab-kitab hadits maupun fikih, tentu kita akan menemukan istilah dari Baginda Nabi yang beliau pakai untuk menyebut para jamaah Haji dan/atau Umrah ini. Kamudian kalau kita amati dan hayati, ternyata istilah yang dipakai Nabi lebih mengena serta lebih dalam maknanya ketimbang istilah yang kita pakai selama ini.

Nabi shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., pernah secara terang bersabda:

وَعَن جَابر رَضِي الله عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللَّهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ» (رَوَاهُ الْبَزَّار)

“Para jamaah haji dan umrah merupakan para delegasi (utusan) Allah, Dia memanggil mereka dan mereka pun memenuhi panggilan-Nya, mereka memohon kepada-Nya dan Dia pun mengabulkan (permintaan) mereka” (HR. Al-Bazzar)

Hadits ini dikomentari oleh al-Hafidz Al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib (2/107) bahwa para perawinya adalah tsiqat (terpercaya). Begitu pula komentar al-Hafidz al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id (3/211) yang mengatakan “Para rijalnya adalah tsiqah”. Pengakuan al-Haitsami ini diikuti pula oleh al-Hafidz al-Munawi dalam Faidl al-Qadir (3/405).

Ditambah lagi dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « وَفْدُ اللَّهِ ثَلَاثَةٌ الْغَازِي وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ» (رَوَاهُ النسائي وابن خزيمة والْحَاكِمُ وَقَالَ هُوَ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ)

“Delegasi Allah itu ada tiga: (1) Orang yang berperang, (2) orang yang berhaji, dan (3) orang yang umrah” (HR. Al-Nasa’i, Ibn Huzaimah dan Al-Hakim)

Hadits ini menurut Imam al-Hakim termasuk hadits shahih sesuai dengan syarat Muslim. Penilaian al-Hakim ini juga disetujui oleh Imam al-Dzahabi (Faidl al-Qadir, 6/362) dan dikutip pula oleh Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab (4/400). Takjrij hadits ini bisa dibaca secara lengkap pada Mawarid al-Dzom’an ila Zawa’id Ibn Hibban karya al-Hafidz al-Haitsami yang ditahkik oleh Husein Salim Asad al-Darani (3/280-281).

Dan beberapa riwayat yang lain yang isi kandungannya tidak jauh berbeda, misalnya HR. Ibn Majah (2893) dan Ibn Hibban (964) dari Ibn Umar dengan sanad hasan (al-Zawa’id, 2/127), HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (4104) dari Ibn ‘Amr dan Syu’ab al-Iman (4105) dari Anas yang keduanya dinilai dlo’if oleh al-Hafidz al-Munawi (Faidl al-Qadir, 3/405 dan 3/406; Jami’ al-Ahadits, 12/170-171).
Dari riwayat-riwayat tersebut kita dapat melihat dengan jelas bahwa Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebut para jamaah haji dan umrah sebagai ‘Wafdullah’ atau ‘para delegasi Allah’ bukan ‘Dluyuf al-Rahman’ atau ‘tamu-tamu Allah’. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa hal seperti ini perlu kami bahas? Yang menurut sebagian orang mungkin dianggap hal yang sepele.
Kalau kita memahami apa itu ‘al-Wafd’ (delegasi), tentu kita akan tahu betapa hebatnya istilah yang dipakai Baginda Nabi. Mari kita simak penjelasan para Ulama’ dalam mendefinikan istilah ‘al-Wafd’ ini.

 Imam al-Nawawi mengartikan:

وَقَالَ النَّوَوِيُّ: الوَفْدُ: جَمَاعَةٌ مُخْتَارَةٌ للتقَدُّم فِي لِقَاءِ العُظماءِ.

“al-wafd adalah sekelompok orang yang dipilih untuk maju dalam pertemuan dengan para pembesar” (Taj al-Arus, 9/316).

Kemudian Syeikh Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arab (3/465) menyebutkan:

وَقَدْ تَكَرَّرَ الوَفْدُ فِي الْحَدِيثِ، وَهُمُ الْقَوْمُ يَجْتَمِعُونَ فَيرِدُونَ الْبِلَادَ، وَاحِدُهُمْ وافِدٌ، وَالَّذِينَ يَقْصِدُونَ الأُمراء لِزِيَارَةٍ واسْتِرْفَادٍ وانْتجاعٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ

“Lafadz ‘al-Wafd’ sudah berkali-kali disebut dalam hadits, yang artinya adalah sekelompok orang yang berkumpul lalu mendatangi kota-kota -yang bentuk tunggalnya adalah ‘wafid’-, mereka menuju para pemimpin untuk berkunjung, meminta pertolongan, minta perlindungan atau yang lain.”

Syeikh al-Zajjaj saat menafsiri QS. Maryam: 85, beliau menyebutkan:

قيل الوَفْدُ: الرُّكْبَانُ المُكَرَّمُونَ

“Dikatakan bahwa ‘al-Wafd’ adalah orang-orang yang berkendara yang dimuliakan dan diagungkan” (Taj al-Arus, 9/316)
Jadi jelas bahwa sesuai keterangan yang telah kami sampaikan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa para jamaah haji  lebih cocok disebut ‘delegasi Allah’ (wafdullah) karena lebih sesuai dengan apa yang disampaikan Baginda Nabi. Karena disebut ‘delegasi Allah’, maka menunjukkan bahwa para jamaah haji dan/atau umrah adalah orang-orang yang diutus dan dipilih oleh Allah sendiri untuk datang ke Rumah-Nya supaya memohon, meminta dan berlindung kepada-Nya sehingga mereka itu berhak untuk dimuliakan dan diagungkan.
Lebih dalam bukan?

Al Khobar, 27 Agustus 2017

Referensi
  • Lisan al-Arab karya Syeikh Ibn Mandzur al-Anshori (w. 711 H), Dar Shadir Beirut, 1414 H
  • Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus karya Syeikh Muhammad Murtadla al-Zabidi (w. 1205 H), Dar al-Hidayah
  • Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id karya al-Hafidz Nuruddin Ali al-Haitsami (w. 807 H), Husamuddin al-Qudsi (Ed.), Maktabah al-Qudsi Kairo, 1414 H
  • Jami’ al-Ahadits karya Imam Suyuthi (w. 911 H), al-Munawi dan al-Nabhani, Sekelompok peneliti dibawah bimbingan Syeikh Ali Jum’ah (Ed.), dicetak atas bantuan Prof. Dr. Hasan Abbas Zakki, 1423 H
  • Mawarid al-Dzam’an ila Zawa’id Ibn Hibban karya al-Hafidz Nuruddin Ali al-Haitsami (w. 807 H), Husein Salim Asad al-Darani dan Abduh Ali al-Kusyik (Ed.), Dar al-Tsaqafah al-Arabiyah Damaskus, 1412 H
  • Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir karya al-Hafidz Zaenuddin Abdurrauf al-Munawi (w. 1031 H), al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra Mesir, 1356 H
  • Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Abu Zakaria Yahya al-Nawawi (w. 676 H), Dar al-Fikr Beirut

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment