Ketika takbir berkumandang di segala penjuru Surau dan Masjid yang menjadi tanda akan datangnya Hari Raya Id (baik Idul Fitri maupun Idul Adha), maka semua umat Islam akan menyambut dan merayakan hari tersebut dengan beragam suka cita. Salah satu hal yang sering dilakukan ialah dengan menyebar tahni’ah (ucapan selamat) ke semua famili, saudara, kolega, dan semua orang yang dikenal. Bahkan lebih dari itu, mereka bersalam-salaman dan juga saling bermaaf-maafan. Lalu, bagaimana sesungguhnya Agama memandang kebiasaan tahni'ah seperti itu? dan jika dibenarkan, tahni’ah seperti apa yang pernah dipakai oleh para ulama terdahulu?
Dalam masalah ini terdapat beragam pendapat. Sebagian ulama --sebut saja Syeikh Najmuddin Abul Abbas al-Qamuli al-Syafi’i (w. 727 H)-- pernah berkata di dalam kitabnya berjudul Jawahir al-Bahr, bahwa
“Saya tidak melihat salah seorang diantara ulama kami (madzhab Syafi’i) berbicara tentang tahni’ah di hari raya Id, di masa-masa atau di bulan-bulan tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat luas”.
Akan tetapi, ulama lain –yakni Syeikh Zakiyuddin Abdul Adzim al-Mundziri (w. 656 H)-- pernah mengutip dari Syeikh al-Hafidz Syarafuddin Abul Hasan al-Maqdisi (w. 611 H) yang pernah ditanya terkait tahni’ah di awal-awal bulan maupun tahun, apakah hal itu termasuk bid’ah atau tidak. Lalu beliau menjawab:
“Sesungguhnya para ulama senantiasa berbeda pandangan terkait hal itu, dan apa yang saya lihat adalah hal tersebut termasuk perkara mubah, bukan perkara sunnah maupun bid’ah”.
Lalu Imam Abul Walid ibn Rusyd al-Jadd (w. 520 H) dalam al-Bayan wa al-Tahshil juga pernah mengutip dari Imam Malik bahwa beliau tidak memandang perkara tersebut sebagai hal yang makruh. Beliau juga mengutip dari al-Faqih Abdul Malik ibn Habib al-Sulami (w. 238 H) yang pernah berkata: “Saya tidak mengetahuinya dan saya tidak membencinya”.
~ Pendapat dan perkataan dari para ulama di atas dapat dibaca di al-Najm al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj (2/550), al-Tahni’ah fi al-A’yad wa Ghairiha (25-27), Nihayah al-Muhtaj (2/401-402), Mughni al-Muhtaj (1/596), al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuha’ (2/225-226), dan lain-lain.
Kemudian datanglah al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) yang berfatwa bahwa perkara tersebut (tahni’ah terkait hari raya, masa atau bulan tertentu) merupakan perkara masyru’ah (yang disyari’atkan). Fatwa ini muncul setelah beliau meneliti berbagai riwayat dan atsar dari para shahabat dan tabi’in yang beliau bukukan dalam al-Tahni’ah fi al-A’yad wa Ghairiha. Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) juga mengumpulkan secara khusus beberapa riwayat dan atsar terkait beragam tahni’ah –termasuk tahni’ah selesai haji, nikah, hari raya Id dan yang lainnya-- dalam karyanya yang berjudul Wushul al-Amani bi Ushul al-Tahani.
Beberapa riwayat dan atsar yang disebutkan oleh al-Hafdidz Ibn Hajar dan al-Hafdiz al-Suyuthi diantaranya ialah apa yang disebutkan dalam kitab Tuhfah Id al-Adlha (dalam versi Imam al-Suyuthi, Tuhfah Id al-Fithr) karya Abu al-Qasim Zahir ibn Thahir al-Syahhami. Beliau meriwayatkan atsar yang sanadnya sampai kepada Abdurrahman ibn Jubair ibn Nufair –termasuk rijal yang shahih--, dari bapaknya –termasuk pembesar Tabi’in dan rijal yang shahih--, bahwa beliau pernah berkata:
“Para Shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika bertemu di hari raya, maka sebagian mereka akan berkata kepada sebagian yang lain: Taqabbalallah minna wa minkum (semoga Allah menerima amal dari kami dan dari kalian).”
Menurut al-Hafdiz Ibn Hajar al-Asqalani dalam Tahni’ah fi al-A’yad (33-34) dan al-Hafidz al-Suyuthi dalam Wushul al-Amani (42), sanad riwayat diatas tergolong hasan.
Abu al-Qasim Zahir ibn Thahir al-Syahhami juga meriwayatkan dari Muhammad ibn Ziyad al-Alhani –termasuk rijal yang shahih-, bahwa beliau pernah berkata:
“Saya pernah melihat Abu Umamah al-Bahili -seorang shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam- berkata kepada teman-temannya di hari raya: Taqabbalallah minna wa minkum (semoga Allah menerima amal dari kami dan dari kalian).”
Riwayat ini juga dinilai hasan oleh al-Hafdiz Ibn Hajar al-Asqalani dalam Tahni’ah fi al-A’yad (34) dan al-Hafidz al-Suyuthi dalam Wushul al-Amani (43).
Kamudian Imam al-Thabarani dalam al-Du’a’ (928) juga meriyatkan dari Rasyid ibn Sa’d,
“Bahwa sesungguhnya Abu Umamah al-Bahili dan Watsilah ibn al-Asqa’ pernah bertemu dengannya (Rasyid ibn Sa'd), lalu mereka berdua berkata: Taqabbalallah minna wa minka (semoga Allah menerima amal dari kami dan dari kamu).” [Al-Hafidz Ibn Hajar menyatakan sanadnya kuat (Tahni’ah fi al-A’yad, 34)].
Selain itu, ada juga beberapa riwayat dari para tabi’in terkait tahni’ah ini, misalnya tahni'ah yang pernah sampaikan oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (sebagaimana riwayat al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, 3/319; al-Thabarani dalam al-Kabir, 22/52), tahni'ah dari Hasan al-Bashri (diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Du’a’, 930), dari Yunus ibn Ubaid (sebagaimana riwayat al-Thabarani dalam al-Du’a’, 929) dan dari tokoh tabi'in lainnya.
Selain beberapa riwayat dan atsar yang telah kami sebutkan, ada alasan lain yang dipakai oleh para ulama untuk melegalkan tahni’ah ini, yaitu:
“Dan bisa dijadikan hujjah juga apa yang berlaku atas keumuman tahni’ah saat memperoleh suatu kenikmatan atau terlepas dari suatu petaka, sebagaimana disyariatkan pula adanya sujud syukur dan ta’ziyah”. (Nihayah al-Muhtaj, 2/402; Mughni al-Muhtaj, 1/596; dll)
Lalu bagaimana dengan ucapan tahni’ah yang lain?
Syeikh Nuruddin Ali ibn Ali al-Syubramalisi (w. 1087 H) dalam Hasyiahnya atas kitab Nihayah al-Muhtaj menjelaskan leih lanjut tentang tahni’ah 'taqabbalallah...' ini, beliau berkata:
“[Taqabbalallah minna wa minka] yakni atau yang menyerupainya dari apa yang dijadikan kebiasaan untuk mengekspresikan tahni’ah (ucapan selamat). Termasuk tahni’ah juga adalah bersalam-salaman. Kemudian pada dasarnya tahni’ah itu diucapkan pada hari raya saja –tidak termasuk di dalamnya hari tasyri’ atau hari setelah Idul Fitri-, tetapi kebiasan masyarakat masih saja bertahni’ah pada hari-hari itu. Dan ini -menurut kami- tidaklah terlarang, karena yang menjadi tujuan utama adalah berkasih sayang dan menampakkan kebahagiaan.” (Hasyiah Syubramalisi, 2/401-402; Hawasyi Syarwani, 3/56).
Hanya saja, bersalam-salaman ini hanya berlaku jika berjenis kelamin sama. Sehingga seorang laki-laki tetap tidak diperbolehkan bersalaman dengan perempuan dan juga sebaliknya, sebagaimana yang sudah diperingatkan oleh Syeikh Ibrahim al-Bajuri (w. 1276 H) dalam Hasyiahnya ala Syarh Ibn Qasim (2/185) yang dikutip pula oleh muridnya, Syeikh Abdul Hamid al-Syarwani al-Daghistani (w. 1301 H) dalam Hasyiahnya atas Tuhfah al-Muhtaj (3/56).
Al-Allamah Sulaiman al-Bujairami (w. 1221 H) juga menambahkan terkait ucapan ‘Taqabbalallah..’ ini,
“Yang menjadi perkara pokok adalah ucapan ‘taqabbalallah..’ itu termasuk tahni’ah. Dan termasuk tahni’ah juga ialah ucapan ‘a’adahullah alaikum bi khoir (semoga Allah mengembalikannya atas kalian semua sebagai suatu kebaikan).” (Hasyiah Bujairami ala al-Khathib, 2/226)
Sehingga ucapan selamat yang lain, seperti Ja’alanallah wa iyyakum minal A’idin wal Fa’izin (جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين ) misalnya, maka sangat mungkin diperkenankan pula. Wallahu a’lam.
Thuqba,
17-02-2018
Referensi
- Wushul al-Amanai bi Ushul al-Tahani, karya Imam al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), Yahya ibn Ali al-Hajuri (Ed.), Dar al-Imam Ahmad Kairo, 1427 H/2006 M
- Al-Tahni’ah fi al-A’yad wa Ghairiha, karya Imam al-Hafidz Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Abu al-Fadll Abdul Qadir al-Nayili (Ed.), Dar al-Basya’ir al-Islamiyah Beirut, 1425 H/2004 M
- Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (ma’a Hawasyi al-Imam Abdul Hamid al-Syarwani [w. 1301 H] wa al-Imam Ahmad Ibn Qasim al-Abbadi [w. 992 H]), karya Ibn Hajar Ahmad Ibn Muhammad al-Haitami al-Syafi’i (w. 974 H), Dar Ihya’ al-turots al-Arobi, Beirut.
- Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz al-Minhaj, karya Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib al-Syirbini (w. 977 H), Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut, 1415 H
- Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Imam Syamsuddin Muhammad al-Ramli (w. 1004 H), beserta Hasyiah Nuruddin ibn Ali al-Syubramalisi (w. 1087 H) dan Hasyiah Ahmad ibn Abdirrazzaq al-Maghribi al-Rasyidi (w. 1096 H), Dar al-Fikr, Beirut, 1404 H
- Al-Najm al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj, karya Syeikh Kamaluddin Muhammad ibn Ali al-Damiri al-Syafi’i (w. 808 H), Lajnah al-Da’imah (Ed.), Dar al-Minhaj Jeddah, 1425 H/2004 M
- Hasyiah al-Bajuri ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim ala Matn Abi Syuja', karya Syeikh Ibrahim ibn Muhammad al-Bajuri (w. 1276 H), Mahmud Shalih al-Hadidi (Ed.), Dar al-Minhaj Jeddah, 1437 H/2016 M.
- Al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’ (ma’a Hasyiah Sulaiman Ibn Muhammad al-Bujairomi al-Mishri [w. 1221 H] = Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khothib), karya Syamsuddin Muhammad Ibn Ahmad al-Khothib al-Syirbini (w. 977 H), Dar al-Fikr, Beirut.
Your website is really cool and this is a great inspiring article. hari raya goodies
ReplyDelete