Khitan Perempuan: Apakah hanya Sekedar Tradisi yang Tak Perlu Dipraktikkan Lagi? (Bag 1/3)


Sebuah kebahagian bagi kami ketika kami dianugerahi seorang anak perempuan yang lahir sekitar lima bulan yang lalu. Sejak dari proses kehamilannya  --sebagian dari persiapan untuk diri sendiri—kami mencoba membaca dan mencatat apa saja yang bermanfaat dan diperluakan bagi ibu hamil. Dari catatan-catatan itu, jadilah artikel bertajuk “Risalah Kecil untuk Wanita Hamil”. Kemudian saat mendekati masa kelahiran, kami membaca dan merangkum lagi, sehingga muncul lah tulisan “Menyambut Kelahiran Sang Jabang Bayi”. Lalu saat usia anak kami menginjak 3-4 bulan, kami pun berfikir lagi tentang perlukah anak kami ini --yang kebetulan seorang perempuan—untuk dikhitan atau tidak? Dari proses membaca berbagai referensi yang cukup banyak dan berdiskusi dengan beberapa orang yang kompeten, maka jadilah sebuah catatan kecil ini. Semoga ada manfaatnya.

Pengertian Khitan

Khitan (atau circumcision) secara bahasa bearti memotong (al-qath’). Dalam Lisan al-Arab (2/1102), al-Qamus al-Muhith (1075) serta al-Fath al-Bari (10/340) dijelaskan bahwa khitan berasal dari fi’il Khatana-Yakhtinu/Yakhtunu-khatnan (ختن - يختِنُ ويختُنُ - ختنا) dan berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Walaupun ada yang mengatakan jika al-khatn (khitan) hanya untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan dikenal dengan istilah al-khafdl (khifadl, خفاض). Bentuk isimnya bisa al-Khitan atau al-Khitanah, yang artinya pekerjaan mengkhitan dan juga bearti bagian yang dikhitan (dipotong). Sedangkan anak yang dikhitan –baik laki-laki maupun perempuan- disebut al-khatin atau al-makhtun. Syeikh Abu Manshur menyatakan khitan adalah tempat pemotongan (anggota badan) baik dari laki-laki maupun perempuan.

Menurut para ahli fikih, khitan bearti memotong sebagian (kulit) tertentu dari anggota badan yang tertentu pula (Fath al-Bari, 10/279). Menurut Imam al-Mawardi (w. 450 H) khitan pada laki-laki dilakukan dengan memotong kulit yang menutupi hasyafah (glands penis), atau yang dinamakan sebagai kulup. Sedangkan pada perempuan, Imam al-Mawardi menjelaskan, 

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: خِتَانُهَا قَطْعُ جِلْدَةٍ تَكُونُ فِي أَعْلَى فَرْجِهَا فَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ كَالنَّوَاةِ أَوْ كَعُرْفِ الدِّيكِ ، وَالْوَاجِبُ قَطْعُ الْجِلْدَةِ الْمُسْتَعْلِيَةِ مِنْهُ دُونَ اسْتِئْصَالِهِ
“Khitan perempuan dilakukan dengan memotong kulit (prepuce) yang berada di atas klitoris yang seperti biji atau jengger ayam jantan. Yang menjadi kewajiban adalah memotong kulit bagian atas dari klitoris tersebut, bukan dengan menghabisinya” (Fath al-Bari, 10/340)
Mirip penjelasan al-Mawawrdi di atas, apa yang disampaikan oleh Imam al-Nawawi (w. 676 H) dalam  al-Majmu’ (1/301-302).

Khitan Perempuan Menurut Organisasi Internasional

Organisasi internaional di bawah PBB yang terdiri dari WHO, UNICEF dan UNFPA menyebut khitan pada perempuan sebagai Female Genital Mutilation (FGM), yaitu segala prosedur yang melibatkan penghilangan secara sebagian atau keseluruhan pada bagian luar alat kelamin atau tindakan melukai lainnya pada organ kelamin perempuan untuk tujuan non-medis (WHO, UNICEF, UNFPA, 1997). Lalu pada tahun 2007, UNFPA dan UNICEF memulai program bersama untuk mempercepat penghapusan praktik FGM ini, karena dinilai berbahaya bagi kesehatan dan termasuk tindakan kekerasan terhadap perempuan. Disusul beberapa resolusi yang lain sampai dengan yang terbaru tahun 2016.

WHO, UNICEF dan UNFPA juga membuat pernyataan bersama yang mengklasifikasikan FGM kedalam empat tipe, yaitu:
  • Tipe I-- Clitoridectomy, yaitu pemotongan kulit (kulup, prupuce) yang menutupi klitoris (tipe Ia) atau pemotongan prupuce beserta klitoris (tipe Ib). 
  • Tipe II-- Eksisi, yaitu pemotongan sebagian atau seluruh labia minora saja (tipe IIa), pemotongan sebagian atau keseluruhan labia minora sekaligus klitoris (tipe IIb), atau pemotongan sebagian atau keseluruhan labia minora, klitoris dan labia majora (tipe IIc).
  • Tipe III-- Infibulasi atau Pharaonic, yaitu pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin perempuan luar disertai penjahitan/penyempitan lubang vagina, dengan atau tanpa pemotongan klitoris.
  • Tipe IV-- Semua macam prosedur lain yang dilakukan pada kelamin perempuan untuk tujuan non-medis, termasuk penusukan, perlubangan, pengirisan, dan penggoresan terhadap klitoris. 
Dari berbagai tipe di atas, menurut Dr. Maryam Ibrahim Hindi dari Universitas Kairo Mesir, praktik khitan yang sesuai dengan definisi para Fuqaha adalah dilakukan dengan pemotongan prupuce (tipe Ia dan Ib), atau pemotongan sebagain klitoris dan sebagian labia minora (tipe IIb) (Khitan al-Inats, 121-123). 
Sebagaiman telah kami sebutkan, WHO cs mengklaim jika khitan pada wanita tidak memiliki manfaat bagi kesehatan melainkan justru merugikan dan menyakitkan baik secara fisik, psikologis bahkan sosial. Lebih jauh WHO menjelaskan bahwa khitan perempuan memiliki dua jenis dampak negatif, yaitu dampak jangka pendek dan jangka panjang. Diantara dampak jangka pendek yang mungkin timbul adalah sakit parah, pendaharan yang berlebihan (haemorrhage), pembengkakan di jaringan kelamin, demam, infeksi seperti tetanus, masalah kencing, luka di sekitar jaringan kelamin, shock, gangguan psikologi dan bahkan kematian. 

Sedangkan dampak jangka panjangnya diantaranya ialah, nyeri berkepanjangan karena kerusakan jaringan, berbagai infeksi diantaranya infeksi genital kronis, infeksi saluran reproduksi, dan infeksi saluran kemih, lalu masalah menstruasi (disfungsi haid), keloid (pembentukan jaringan luka yang berlebihan), masalah kesehatan seksual, komplikasi obstetrik (peningkatan resiko saat operasi caesar atau persalinan), resiko perinatal (peningkatan kejadian resusitasi bayi), dan konsekuensi psikologis (peningkatan stress, kecemasan dan depresi). Untuk lebih detailnya bisa dibaca di website resmi WHO.

Praktik Khitan Perempuan di Indonesia

Di Indonesia sendiri, praktik khitan pada perempuan masih saja berlangsung hingga saat ini walaupun dengan cara dan media yang beragam. Menurut penelitian Population Council (2003), praktik khitan perempuan di Indonesia tidak bisa dengan mudah diklasifikasikan sesuai tipe dari WHO. Akan tetapi, –menurut riset ini— praktik khitan perempuan di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok: yaitu (1) secara simbolis belaka (28%), dimana tidak ada pemotongan klitoris, melainkan dengan menggores atau menggosok, dan menusuk atau menembus bagian luar klitoris. Dan (2), dengan cara yang tergolong berbahaya, meliputi pemotongan insisi (49%) dan pemotongan eksisi (22%) pada klitoris. 

Alat yang dipakai untuk menyunat juag beragam, meliputi pisau (55%), gunting (24%), sembilu (bambu) atau silet (5%), jarum (1%), serta sisanya sekitar 15% menggunakan pinset, kuku atau jari penyunat, koin, dan kunyit. Riset ini melibatkan para penyedia jasa khitan, pemuka agama dan sebanyak 1694 sample yang terdiri dari ibu-ibu yang memiliki anak perempuan dibawah umur 19 tahun. 

Lalu bagaimana sikap pemerintah selama ini? Perlu dicatat bahwa pada tahun 2006, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI mengeluarkan surat edaran Nomor HK 00.07.1.31047 tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi tenaga kesehatan. Berdasarkan surat edaran tersebut, maka pada 2007 seluruh instansi penyedia layanan kesehatan dan tenaga kesehatan tidak lagi melayani sunat perempuan.

Namun, pada 2008 terjadi perlawanan terhadap aturan ini, salah satunya datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI mengeluarkan Keputusan Fatwa Nomor 9A berisi penolakan terhadap larangan sunat perempuan pada Mei 2008. Alasannya, sunat perempuan merupakan aturan dan syiar Islam. Sunat perempuan merupakan bentuk ibadah yang dianjurkan.

Kemenkes merespons fatwa MUI itu dan mengeluarkan Peraturan Menkes Nomor 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Dalam Permenkes itu disebutkan bahwa sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit (prupuce) yang menutupi bagian depan klitoris dengan tanpa melukai klitoris dan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, yaitu meliputi dokter, bidan dan perawat yang telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja, serta diutamakan berjenis kelamin perempuan.

Sebagai respon dari keputusan itu, masyarakat sipil yang menolak praktik sunat perempuan melakukan kampanye dari tingkat nasional hingga internasional. Salah satunya memberikan laporan ke PBB serta menggalang petisi internasional untuk mendesak Kemenkes menghentikan praktik sunat perempuan.

Akhirnya pada tahun 2014, Kemenkes mencabut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/Menkes/Per/2010 tentang Sunat Perempuan. Akan tetapi, pencabutan peraturan ini bukan berarti praktik sunat perempuan dilarang kembali. Sebab Kemenkes langsung memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan. Artinya, sunat perempuan tetap dipertahankan hingga saat ini.

Khitan dalam Pandangan Empat Madzhab dan Dukungan dari Para Ulama ‘Semi-Kontemporer’
Pada dasarnya diantara empat madzhab yang ada --yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali--, kesemuanya bersepakat jikalau khitan pada perempuan termasuk perkara yang disyari’atkan (masyru’). Walaupun diantara mereka terdapat perbedaan terkait status hukumnya.
Madzhab Hanafi memandang hukum khitan bagi perempuan adalah makrumah (kemuliaan, etika syari’at), dan ada pendapat lain dari mereka mengatakan sunnah. Sedangkan yang masyhur menurut Madzhab Maliki, khitan perempuan dihukumi mandub (sunnah), walaupun ada sebagian dari mereka –misalnya Syeikh Sahnun—menyatakan wajib. 

Dalam Madzhab Syafi’i sendiri, khitan perempuan dihukumi wajib menurut pendapat yang masyhur dari kalangan mereka. Walaupun ada sebagian pendapat dari mereka yang dinilai syadz (ganjil), yang lebih memilih hukum sunnah (al-Majmu’, 1/367). Lalu dalam Madzhab Hanbali, terdapat tiga riwayat tentang hukum khitan perempuan ini, ada yang menyatakan wajib, sunnah dan ada pula yang menyebut makrumah. Termasuk yang menilai makrumah adalah Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w. 620 H) dalam al-Mughni (1/85). Sebagian ulama mengungkap alasan kenapa khitan perempuan tidak dihukumi sunnah melainkan hanya sebatas makrumah adalah tak lain karena khitan pada perempuan mampu menambah kesenangan atau kenikmatan saat bersenggama sebagaimana disebutkan oleh Syeikh Yusuf al-Sijistani (w. 666 H) dalam Munyah al-Mufti (Ghamz Uyun al-Basha’ir, 3/381; Hasyiah al-Adawi, 1/596). Untuk mengetahui lebih jauh terkait perbandingan diantara empat madzhab ini, silakan dibaca al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Quwaitiyah (19/27-28), al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (1/461) atau Fath al-Bari (10/340-341).

Bersambung ke Bagian 2.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment