Fikih Praktis Puasa – Mazhab Syafi’i (Bag 2)

Oleh Muhammad Sokhi Ashadi & Abdul Latif Ashadi


Kita telah membahas tentang apa itu Puasa Ramadlan, bagaimana menentukan awal Bulan Ramadlan, kemudian berlanjut dengan Rukun-rukun puasa, Syarat wajib puasa, dan ditutup dengan kajian tentang Orang-orang yang tidak diwajibkan berpuasa pada sesi sebelumnya. Silakan dibaca dan dipahami kembali pada kajian Fikih Puasa Bagian Kesatu. Sekarang kita akan memasuki Bagian Kedua yang adalah bagian terakhir dari kajian Fikih Puasa ini. Semoga ada manfaatnya.

Orang Yang Wajib Imsak

Imsak yang dimaksud di sini adalah menahan lapar (tidak makan dan minum). Perlu diketahui bahwa ada 6 kondisi yang menyebabkan seseorang wajib untuk imsak meski tidak dalam keadaan puasa, dan nantinya wajib meng-qodlo’.
  1. Menyengaja membatalkan puasa kecuali bagi orang musafir atau sakit.
  2. Meninggalkan niat di malam hari.
  3. Orang yang tetap makan sahur karena mengira fajar belum tiba, dan dia akhirnya tahu bahwa sahurnya tadi ternyata sudah kelewat waktu.
  4. Orang yang terlanjur berbuka karena mengira maghrib telah tiba.
  5. Orang yang tidak berpuasa pada tanggal 30 Sya’ban, padahal hari itu ternyata telah memasuki bulan Ramadlan.
  6. Orang yang kemasukan air sisa madlmadloh (kumur) atau istinsyaq (menyedot air dengan hidung) yang secara mubalaghoh (berlebihan). Karena orang yang berpuasa dilarang untuk berlebih-lebihan saat berkumur dan/atau menghirup air saat wudlu.
Orang Yang Disunahkan Imsak

Pembahasan pada poin ini hampir sama dengan pembahasan pada sebelumnya, hanya saja pada kasus ini tidak sampai diwajibkan untuk imsak melainkan hanya disunahkan. Kondisi seseorang yang dianggap tidak berpuasa, tetapi disunahkan untuk imsak adalah:
  1. Anak kecil yang tidak berpuasa kemudian menjadi baligh
  2. Orang gila yang sembuh
  3. Orang kafir yang masuk Islam
  4. Musafir atau orang sakit yang hilang alasan (udzur)-nya
Perkara Yang Membatalkan Puasa

1. Sengaja memasukan sesuatu barang (الْعَيْنِ) ke dalam rongga badan bagian dalam (الْجَوْفَ) melewati lubang/rongga yang terbuka.

Ada tiga pokok penjelasan:
  • Sesuatu barang (الْعَيْنِ) mengecualikan rasa, bau, asap -kecuali asap rokok-, angin dan debu. Dari kesemua pengecualian itu tidak membatalkan puasa termasuk VIX (yang disedot di hidung). Ada juga yang termasuk barang (ain) tapi tidak membatalkan puasa, misalnya air liur.
  • Rongga yang terbuka (مَنْفَذٍ مَفْتُوحٍ), meliputi: mulut, hidung, telinga, dubur (anus), qubul (vagina/penis) dan puting susu. Pori-pori dan mata tidak termasuk di dalamnya. Sehingga suntik, infus dan obat mata walaupun sampai terasa di kerongkongan tetap tidak membatalkan puasa.
  • Rongga bagian dalam (الْجَوْفَ), meliputi: (i) mulut bagian dalam, yaitu di bawah letak mahrojnya kha’ (خ). (ii) Hidung bagian dalam,  batasnya adalah janur hidung. Jadi, kerongkongan hidung termasuk bagian luar. (iii) Batas telinga dalam adalah bagian kuping yang tidak kelihatan dengan mata kepala. Bagian yang kelihatan dari bagian kuping termasuk luar. (iv) Batas dubur bagian dalam adalah yang tidak wajib disucikan saat istinja’ (cebok). Sedangkan Yang wajib disucikan saat istinja’ termasuk bagian luar. Kiata tahun bahwa yang wajib disucikan saat istinja’ adalah yang kelihatan saat jongkok.
[Beberapa Kasus]
  • Ketika menguap dan secara tiba-tiba mulut kita kemasukan lalat, nyamuk, atau debu jalanan, maka tidak membatalkan puasa. 
  • Saat mandi wajib atau sunah, kemudian telinga kemasukan air, maka tidak termasuk membatalkan, kecuali jika disengaja. Sedangkan selain mandi wajib atau sunah, maka bisa membatalkan puasa. 
  • Saat berak, ada sebagian tinja yang kembali masuk (sekira dipastikan ada bagian tinja yang masuk kembali setelah keluar atau kelihatan) maka membatalkan bila disengaja. Akan tetapi jika tidak disengaja, maka tidak membatalkan. 
  • Saat berak di dalam sungai, kalau dipastikan ada air yang masuk, maka puasa batal. Akan tetapi, secara dhohir air tersebut tidak dapat masuk, karena ketika tinjanya sudah keluar maka anus akan menutup kembali secara otomatis, sehingga  sangat dimungkinkan tidak membatalkan. 
  • Menelan air liur setelah (bekas) madlmadloh (kumur sebelum berwudlu) walaupun bisa mengeluarkannya, hukumnya tidak apa-apa. 
  • Menelan air liur yang murni (tanpa campuran) tidak membatalkan, tetapi jika tidak murni maka membatalkan. 
  • Menelan  dahak bisa membatalkan puasa. 
  • Sisa makanan yang tertinggal disela-sela gigi dan kemudian tertelan bersamaan dengan air liur secara tanpa sengaja, maka tidak membatalkan jika memamg sulit untuk memisahkan dan mengeluarkannya secara terpisah. 
2. Muntah dengan sengaja.
Yang dimaksud muntah adalah mengeluarkan sesuatu dari dalam (di bawah mahrojnya Kha’) sampai batas luar (di atasnya mahroj Kha’) dengan mengecualikan dahak. Dalam arti mengeluarkan dahak adalah tidak termasuk membatalkan puasa sebab muntah. Walaupun tidak menutup kemungkinan dahak tersebut bisa membatalkan puasa sebab yang lain, yaitu kembalinya ke rongga bagian dalam, seperti yang sudah diterangkan sebelumnya. Muntah ini jika tidak disengaja maka tidak membatalkan, misalnya muntah sebab sakit atau mabuk sebab naik kendaraan. Hal ini tidak membatalkan puasa walaupun sudah terbiasa setiap kali naik kendaraan pasti mabuk. Sedangkan bersendawa, bila yang keluar hanya angin maka tidak membatalkan, sedangakan jika yang keluar adalah air, maka termasuk muntah yang membatalkan.

3. Bersenggama (jima’) dengan sengaja.
Artinya memasukkan glans penis (hasyafah) pada vagina (farji) secara sengaja. Sebenarnya yang bisa batal sebab ini adalah hanya laki-laki. Sedangkan yang perempuan sudah batal lebih dahulu sebab masuknya sesuatu ke rongga bagian dalam.  Sehingga jika terjadi hal demikian pada puasa Ramadlan, maka yang berkewajiban membayar kafaroh adalah hanya laki-laki. Kita tahu kafaroh karena jima’ adalah berpuasa selama dua bulan penuh dengan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan 60 orang faqir/miskin, dengan tiap-tiap satu orang sebanyak satu mud (0.55 kg) beras.

4. Keluarnya sperma.
Ketentuan hukumnya adalah bila sengaja mengeluarkan dan spermanya juga keluar, maka membatalkan puasa secara mutlak, dalam arti tidak dibedakan apakah karena bersentuhan langsung atau tidak. Sedangkan jika tidak sengaja mengeluarkan tapi spermanya ternyata keluar, maka hukumnya dirinci: (i) bila penyebabnya adalah karena bersentuhan langsung (mubasyaroh) dengan kondisi sampai membatalkan wudlu, maka membatalkan puasa. Dan (ii) bila tidak dengan mubasyaroh, maka tidak membatalkan.

5. Haid, nifas dan melahirkan.
Ketentuannya adalah walaupun sebentar atau sedikit tetap membatalkan.

6. Gila walaupun sebentar.

7. Tidak sadar atau mabuk.

Dengan syarat selama seharian penuh. Kalau hanya sebentar maka tidak membatalkan. Hal ini berbeda dengan tidur, walaupun seharian penuh tetap tidak membatalkan puasa.

8. Murtad (keluar dari Islam).

Dari delapan perkara yang bisa membatalkan puasa ini, bisa dikelompokkan menjadi dua. Yaitu: empat perkara yang pertama bisa membatalkan puasa dengan syarat disengaja, ingat akan puasa, dan tidak dipaksa. Sedangkan empat perkara yang terakhir tidak ada persyaratan tersebut, artinya disengaja atau tidak, ingat akan puasa atau lupa, dipaksa atau tidak tetap bisa membatalkan.

Cara Meng-qodlo’ dan Membayar Fidyah Puasa

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang tidak wajib puasa, setelah usai Ramadlan diwajibkan qodlo’ kecuali; anak kecil yang memasuki baligh, kafir asli, orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, gila, orang tua renta yang tidak kuat puasa, serta orang yang tidak tahan lapar. Selain orang-orang tersebut maka wajib meng-qodlo’. 

Ketentuan hukumnya; 
  • Bila penyebab tidak puasanya adalah karena perkara dosa (tidak ada uzur syar’i), maka tanggal 2 Syawal sudah diwajibkan untuk meng-qodlo’. 
  • Sedangkan jika penyebabnya bukan karena dosa (ada udzur), maka qodlo’nya boleh sewaktu-waktu asal belum masuk bulan Ramadlan berikutnya. Bila sampai masuk bulan Ramadlan berikutnya, maka wajib membayar fidyah 1 mud untuk satu harinya. 
Dalam bab ini ada pembahasan tentang orang yang meninggal dunia tapi masih mempunyai hutang puasa. Perincian hukumnya adalah; bila dia tidak berpuasa karena perkara yang tidak dosa (ada udzur) dan belum punya kesempatan waktu untuk mengqodlo’, maka ahli waris tidak punya kewajiban untuk menyelesaikan hutang puasanya, dalam arti mereka tidak wajib mengqodlo’ atau membayar fidyah untuk si mayit. Sedangkan jika si mayit tidak berpuasa karena perkara dosa (tidak ada udzur), atau karena perkara yang tidak dosa tapi sudah ada kesempatan waktu untuk meng-qodlo’ dan dia tidak meng-qodlo’, maka bila si mayit meninggalkan harta warisan, maka ahli waris wajib menyelesaikan hutang puasanya dengan meng-qodlo’ atau membayar fidyah.  Dan jika si mayit tidak meninggalkan harta warisan, maka si ahli waris tidak wajib menyelesaikan.

Sekedar contoh perhitungan orang meninggal dunia pada usia 50 tahun dan dia belum pernah puasa sama sekali.  Pertama-tama,  dihitung usia mulai umur balig sampai meninggal dunia (50 – 15 = 35 tahun). Bila diqodlo’ berarti harus  puasa 1050 hari (35 x 30 =1050 hari) dan membayar denda qodlo’ puasa pada setiap tahunnya. Cara menghitung denda telat qodlo’ adalah dimulai puasa yang ditinggalkan pada umur 16 tahun, yaitu 30 hari x 34 tahun x 1 mud (0,55 kg) = 561 kg; kemudian pada umur 17 tahun, yaitu 30 tahun x 33 tahun x 0,55 kg = 544,5 kg; pada umur 18 tahun, yaitu 30 hari x 32 tahun x 0,55 kg = 528 kg; dan seterusnya sampai umur 49 tahun. Kira-kira setiap tahunnya terpaut 16,5 kg. Sehingga jumlah total yang harus dibayar untuk denda telat meng-qodlo’ adalah 9652,5 kg atau 9,6525 ton beras. Walhasil, kalau ahli waris ingin meng-qodlo’, berarti harus puasa 1050 hari dan membayar denda 9,6525 ton beras.  Sedangkan jika ahli waris hanya ingin membayar fidyah (tanpa qodlo’) maka harus menyediakan 9,6525 ton (untuk denda telat qodlo’) + 577,5 kg (35 tahun x30 hari x 0,55 kg) = 10,23 ton. Dan ini adalah aturan denda menurut pendapat yang mu’tamad (kuat). Walaupun begitu, masih ada pendapat yang tidak mu’tamad dimana hanya berkewajiban membayar denda cukup sekali (tidak tiap tahun). Sehingga kalau mengikuti pendapat ini, maka hanya membayar denda telat qodlo’ sebanyak 561 kg (34 tahun x 30 hari x 0,55 kg) dan untuk fidyah puasa sebanyak 577,5 kg, atau dengan jumlah total 1138,5 kg (1,138 ton). Menurut Syaikh Abdul Wahid Zuhdi (Grobogan, Wakil Ro'is Syuriah PWNU Jawa Tengah), daripada pihak ahli waris tidak melakukan kewajiban sama sekali, lebih baik mengamalkan pendapat yang tidak mu’tamad ini.

Kesunahan Dalam Puasa

Di dalam berpuasa terdapat banyak sekali perkara-perkara yang disunahkan, diantaranya adalah:

1. Lekas-lekas berbuka jika sudah masuk waktu Maghrib, bahkan dimakruhkan mengakhirkan berbuka puasa jika punya asumsi bahwa mengakhirkan berbuka akan mendapat keutamaan tersendiri. Sedangkan bila tidak punya asumsi seperti itu, maka tidak ada hukum makruh. 

Dalam berbuka puasa disunahkan mendahulukan dengan makan kurma ruthob (kurma basah), tamr (kurma kering), ajwah, busr (jenis kurma). Jika tidak ada kurma maka dengan air (termasuk wedang), yang lebih utama air zamzam, baru kemudian dengan manisan yang belum diolah dengan api, seperti anggur, madu, dan susu. Setelah itu baru disusul dengan manisan biasa (yang sudah diolah). Hal ini sesuai perkataan sebagian Ulama’ (Hawasyi Syarwani ala Tuhfah 3/421):

فَمِنْ رُطَبٍ  فَاْلبُسْرِ فَالتَّمْرِ زَمْزَمَ  ~***~  فَمَاءٍ فَخُلْوٍ ثُمَّ حَلْوَى لَكَ الفِطْرُ

2. Setelah berbuka puasa dilanjutkan membaca do’a:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ   
atau
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَبِكَ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى 

Perlu diperhatikan, praktek membaca do’a tersebut sebelum berbuka puasa, seperti yang sering ditayangkan di televisi adalah keliru (Hawasyi Syarwani ala Tuhfah 3/425).

3. Mengakhirkan sahur sekira selesai sahur masih tersisa +/- 12 menit sebelum masuk waktu Subuh. Perlu diperhatikan tidak ada istilah imsak dengan arti sebelum Subuh tidak boleh makan. Waktu sahur ini dimulai setelah tengah malam terhitung mulai Isya’.

4. Memperbanyak membaca Al-Qur’an. Perlu diperhatikan bahwa tadarus dengan speker sampai larut malam, hukumnya haram.

5. Bila mau mandi janabah, haidl, atau nifas, sebaiknya dikerjakan sebelum fajar.

6. Berdo’a sebelum berbuka, karena termasuk waktu yang mustajab.

7. Memberi makanan berbuka untuk orang lain dan mengajak berbuka bersama.

8. Menghindari perkara yang syubhat

9. Menahan diri dari nafsu bersenang-senang: seperti TV, radio, DVD dan playstasion. Bahkan menurut Imam Al-Ruyani, yang lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa adalah tidak memakai celak.

10. Memperbanyak sedekah dan termasuk memberi kelonggaran kepada keluarga dalam masalah biaya.

11. Berbuat baik kepada kerabat dan tetangga.

12. Memperbanyak I’tikaf, terutama pada 10 hari terakhir, dengan harapan bisa bertepatan dengan malam Lailatul Qodar.

13. Meninggalkan perkataan kotor, seperti berbohong, menggunjing, mencaci-maki dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa menjaga lisan dari berkata kotor adalah wajib dari segi menjaga lisan itu sendiri. Akan tetapi jika dipandang dari segi pihak yang sedang berpuasa adalah termasuk sunah. Oleh karena itu, ketika sedang berpuasa kemudian berkata kotor maka tidak membatalkan puasa, tapi membatalkan pahala puasa. Hal ini sesuai maksud dhohir dari hadist:

خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ اْلغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَاْلكَذِبُ وَالنَّظَرُ إِلىَ اْلمُحَرَّمَاتِ وَاْلأَيْمَانُ اْلفَاجِرُ  

“Terdapat lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa, yaitu: mengumpat, adu domba, berdusta, melihat perkara yang diharamkan, dan sumpah palsu”. (Hadits ini menurut Imam Subki dinilai dlo’if namun isinya benar/shohih).

Menurut penafsiran Sayyidatina A’isyah, Imam Ahmad dan kebanyakan Ulama’ dalam menta’wil hadist tersebut adalah:
“Seseorang yang berpuasa tanpa menjaga anggota badannya dari perbuatan dosa, maka tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali hanya lapar dan dahaga”.
Oleh sebab itu, hendaknya orang yang berpuasa menjaga lisannya dari semua itu. Dan apabila dia dicaci-maki oleh orang lain, maka tidak usah meladeni dan  berusaha menahan diri dengan berkata di dalam hati: “aku sedang berpuasa”.

Kemakruhan Dalam Puasa

Beberapa perkara yang dimakruhkan saat berpuasa adalah:
  1. Musyatamah (mencaci-maki) 
  2. Mengakhirkan berbuka kecuali bagi orang yang tidak punya hidangan untuk berbuka, menuggu jama’ah atau yang lain. Sedangkan dia tahu bahwa berbuka ada fadhilahnya.
  3. Mengulum benda keras termasuk permen karet atau sejenisnya.
  4. Mencicipi rasa kecuali ada tujuan, seperti mengunyahkan makanan untuk bayi, atau mencicipi masakan untuk keluarga.
  5. Membekam atau dibekam, termasuk didalamnya adalah donor darah.
  6. Mengecup yang tidak sampai timbul syahwat
  7. Masuk tempat pemandian atau kolam renang tanpa ada hajat.
  8. Menggosok gigi setelah waktu zawal (Dzuhur). Bila memaksa untuk menggosok gigi, maka hukumnya haram.
  9. Melihat perkara yang dihalalkan namun timbul syahwat.
Jenis-Jenis Puasa 

1. Puasa Wajib

Puasa wajib dibagi menjadi tiga macam:

~ Wajib berturut-turut  (تَتَبّعا)
  • Puasa ramadlan
  • Kaffaroh dzihar
  • Kaffaroh pembunuhan
  • Kaffaroh jima’ pada siang hari bulan romadlon
  • Nadzar yang disyaratkan berturut-turut
~ Wajib dipisah (تفريقا)
  • Puasa haji tamattu’ (3 hari saat haji dan 7 hari saat sudah pulang)
  • Puasa haji qiron (sama dengan tamattu’)
  • Puasa sebab tidak menggaabungkan antara siang dan malam saat wukuf di arafah
  • Puasa sebab meninggalkan kewajiban nusuk (seperti tidak ihrom dari miqot, romyu, mabit di mina, mabit di muzdalifah, atau thowaf wada’)
~ Boleh berturut-turut atau terpisah, tapi lebih utama berturut-turut
  • Qodlo’ puasa Ramadlan (sebab udzur dan waktunya tidak sempit). Sedangkan jika tidak ada udzur atau waktunya luas, maka wajib tatabbu’
  • Kaffaroh jima’ pada saat ihrom (sebelum tahallul awal).  Kaffaroh tersebut dilakukan setelah tidak mampu melakukan kewajiban menyembelih unta, sapi, 7 ekor kambing, atau memberi makan sebanyak harga unta secara berurutan. Dengan ketentuan 1 mudnya diganti satu hari puasa.
  • Kaffaroh sumpah 
  • Fidyah halqu dalam ihram haji
  • Fidyah memakai pakaian dalam ihram haji
  • Fidyah memakai wewangian dalam ihram haji
  • Fidyah memotong kuku dalam ihram haji
  • Fidyah memakai minyak rambut dan memotongnya dalam ihram haji
  • Fidyah berburu dalam ihram haji
  • Fidyah memotong tanaman tanah haram
  • Fidyah ihshor (tahallul lebih awal, sebelum selesai prosesi manasik)
  • Puasa nadzar mutlak
2. Puasa Sunah

Puasa sunah meliputi:
  • Puasa hari Senin dan Kamis. 
  • Puasa hari arofah, yaitu tanggal 9 Dzul Hijjah, bagi selain orang yang sedang berhaji. 
  • Puasa hari Asyuro’, yaitu tanggal 10 Muharram dan juga tanggal 11 Muharram. 
  • Puasa Ayyamul Bidl (padang bulan)), yaitu hari ke-13, 14 dan 15 tiap bulannya, kecuali bulan Dzulhijjah yang diganti pada hari ke-14, 15 dan 16.
  • Puasa Yaumus Suud, yaitu tanggal 28, 29 dan 30 untuk bulan yang berumur 30 hari, atau 27, 28 dan 29 jika umur bulan hanya 29 hari.
  • Puasa Tasyu’a’, yaitu tanggal 9 Muharram. 
  • Puasa enam hari pada bulan Syawwal. Yang lebih utama puasa ini di gandeng dengan hari raya mulai tanggal 2 Syawwal, tapi kalau tidak memungkinkan juga boleh melakukan puasa ini dengan terpisah-pisah selama masih bulan Syawwal. Dan boleh disertai niat puasa lain seperti meng-qodlo’ Ramadhan dan/atau yang lain.
  • Sepuluh hari pertama pada bulan-bulan yang dimuliakan (Muharrom, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Rojab)
  • Hari Tarwiyah, yaitu hari ke-8 Bulan Dzul Hijjah.
  • Puasa Dawud, yaitu puasa sehari, lalu tidak puasa sehari berikutnya. Perlu diketahui jika urutan waktu tidak puasanya tadi bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka menurut Syihabuddin Al-Romly yang lebih utama baginya adalah tetap berpuasa, dan hal tersebut tidak menjadikannya keluar dari ketentuan puasa Dawud.
  • Puasa ketika tidak ada yang dimakan (baik tidak ada makanan mulai dari awal hari atau sebelum zawal)
  • Puasa Sya’ban.
  • Puasa 3 hari tiap bulan.
  • Puasa Muthlaq
3. Puasa Makruh

Puasa yang dihukumi makruh adalah:
  • Puasa bagi orang yang sedang sakit (ketika khawatir bahaya yang kira-kira sampai diperbolehkan tayamum). Bila yakin terjadi bahaya atau ada persangkaan kuat maka hukumnya menjadi haram. Bila yakin tidak terjadi bahaya, maka haram jika tidak berpuasa.
  • Berpuasa sunah bagi orang yang masih menanggungan puasa qodlo’ fardlu sebab udzur.
  • Puasa bagi musafir, wanita hamil, wanita menyusui dan tua renta, jika mereka khawatir timbul masyaqqot terhadap kondisi tubuhnya.
  • Puasa hanya pada hari jum’at atau hanya pada hari sabtu atau pada hari ahad, kecuali bertepatan dengan hari-hari yang disunahkan berpuasa. Seperti bertepatan dengan hari arofah.
  • Puasa setahun penuh bagi orang yang khawatir akan bahaya bagi dirinya, menjadikannya tidak bisa memenuhi kewajiban, atau menjalankan kesunahan. Bila tidak ada kekhawatiran, maka hukumnya Sunnah.
  • Puasa pada hari Arafah bagi orang haji yang sampai di Arafah pada siang hari. Sedangkan bila sampai di Arafah pada malam hari, maka tetap disunahkan berpuasa
4. Puasa Haram

Puasa yang diharamkan meliputi:
  • Puasa pada Hari Raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
  • Puasa hari Tasyrik (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah) walaupun bagi yang sedang haji Tamattu’
  • Puasa  bagi wanita haid dan nifas
  • Puasa Wishol, yaitu puasa dua hari dua malam berturut-turut tanpa berbuka. Sedangkan praktek puasa wishol dalam dunia perdukunan (puasa satu hari satu malam) masih diperbolehkan. 
  • Puasa pada hari Syak (ragu), yaitu tanggal 30 Sya’ban atau tanggal 9 bulan Dzul Hijjah saat orang-orang ramai memperbincangkan ru’yah, sementara tak ada seorang pun yang memberi kesaksian atau ada yang bersaksi tapi dari seorang anak kecil, budak, orang fasik, kafir atau wanita. Keharaman tersebut bila tidak ada sebab. Bila ada sebab seperti bertepatan dengan kebiasaannya berpuasa, mengqodlo’ puasa (walaupun puasa sunah) atau puasa nazar, maka hukumnya sah dan tidak haram. Jangan dipahami bahwa setiap tanggal 30 Sya’ban adalah hari syak, seperti keterangan pada kalender terbitan Menara Kudus yang biasanya mencantumkan  hari syak pada 30 Sya’ban. Hal ini adalah kurang tepat. 
  • Puasa diseparuh kedua di bulan Sya’ban, kecuali puasa tersebut disambung dengan hari di separuh yang awal atau dengan adanya sebab (seperti qodlo’ atau bertepatan dengan kebiasaan). Muttasil (menggabung) ini mengecualikan puasa di hari ke 14 Sya’ban yang pada tanggal 15nya tidak puasa (walaupun ada udzur), walaupun kemudian diteruskan pada separuh kedua, maka hukumnya tetap haram.

Referensi Utama:

  1. تحفة المحتاج في شرح المنهاج للإمام أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي وحواشيه للإمام عبد الحميد الشرواني وللإمام أحمد بن قاسم العبادي
  2. مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج للامام شمس الدين محمد بن أحمد الخطيب الشربيني الشافعي (المتوفى: 977هـ)
  3. نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج للإمام شمس الدين محمد الرملي (المتوفى: 1004هـ)
  4. إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين للشيخ أبو بكر (المشهور بالبكري) عثمان بن محمد شطا الدمياطي الشافعي (المتوفى: 1310هـ)
  5. حاشيتا قليوبي وعميرة على شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين للشيخ محيي الدين النووي
  6. فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب المعروف بحاشية الجمل
  7. التجريد لنفع العبيد = حاشية البجيرمي على شرح المنهج للشيخ سليمان بن محمد بن عمر البُجَيْرَمِيّ المصري الشافعي (المتوفى: 1221هـ)
  8. حاشية البيجوري على شرح ابن قاسم الغزي على متن أبي شجاع
  9. تحفة الحبيب على شرح الخطيب = حاشية البجيرمي على الخطيب للشيخ سليمان بن محمد بن عمر البُجَيْرَمِيّ المصري الشافعي (المتوفى: 1221هـ)
  10. الأذكار للامام أبي زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي
  11. إحياء علوم الدين للامام أبي حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي


CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment