Fikih Praktis Air – Mazhab Syafi’i

Oleh: Muhammad Sokhi Ashadi & Abdul Latif Ashadi


Sebelum masuk pada pembahasan tentang air, terlebih dahulu kami sampaikan secara sekilas perihal Thaharah (kesucian) itu sendiri. Thaharah terbagi menjadi dua macam; wajib dan sunnah. Thaharah wajib juga terdiri dari dua jenis, yaitu yang bersifat jasmani (badani) dan yang bersifat rohani (qolbi). Yang bersifat rohani misalnya membersihkan hati dari sifat-sifat madzmumah seperti iri, bangga diri, pamer dan sombong. Sedangkan yang bersifat jasmani berupa hadats besar dan kecil yang mampu disucikan dengan air, debu ataupun batu (istinja’). Yang terakhir adalah thaharah yang hukumya sunnah, misalnya memperbaharui (tajdid) wudlu dan mandi-mandi yang disunnahkan.

Dalam kitab-kitab fikih madzhab Syafi'i, pada bab thaharah biasanya terdapat istilah wasail al-thaharah (media bersuci) dan maqosid al-thaharah (tujuan bersuci). Media bersuci terdiri dari empat macam; air, debu, alat untuk menyamak (al-dabigh) dan batu istinja' (cebok). Sedangkan tujuan bersuci meliputi wudlu, mandi, membersihkan najis dan tayamum.

Air merupakan satu-satunya benda cair yang dapat difungsikan untuk bersuci. Walaupun demikian, bukan berarti semua air bisa mensucikan, karena hanya air yang memenuhi beberapa kreteria yang mampu digunakan untuk bersuci. Kriteria-kriteria itu meliputi:

1.  Air Mutlak

Yaitu setiap benda cair yang dapat dinamakan sebagai air tanpa ada qoyyid yang mengikat atau ada qoyyid tapi tidak mengikat, misalnya: air kendi, air sungai, air laut, air sumur, air Aqua dll. Oleh karenanya, air mata dan keringat tidak dapat dijadikan alat untuk bersuci karena tidak termasuk air walaupun dari segi zat dan wujudnya mirip dengan air.

2.  Tidak Musta’mal

Air musta’mal yaitu air yang telah usai digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis. Air bisa dikategorikan sebagai musta’mal dari hadas apabila:

  • Digunakan untuk bersuci yang diwajibkan, seperti wudlu (walaupun dari anak kecil) dan mandi wajib (walaupun dari wanita kafir dengan tujuan supaya diperbolehkan bersenggama dengan suaminya).
  • Bekas dari penggunaan yang pertama kali. Seperti halnya basuhan wajah, tangan dan kaki yang pertama kali dalam wudlu; basuhan pertama dalam mandi wajib.
  • Kurang dari dua qullah (174,5 liter). Apabila air musta’mal ini dikumpulkan kembali sehingga ada dua qullah, maka hukum musta’malnya menjadi hilang.
  • Telah pisah dari anggota badan. Akan tetapi apabila belum pisah dari anggota badan atau menetes pada anggota badan lain yang secara wajar terkena percikannya, maka bukan termasuk air musta’mal. Kemudian jika ada orang yang menyelam dalam air yang tidak ada dua qullah dengan niat wudlu, selama dia belum mengangkat dirinya ke atas air, maka selama itu pula air tersebut belum menjadi musta’mal.
  • Tidak disertai niat ightirof (niat menciduk air, dalam bahasa Jawa: nyawuk) saat menciduk air dengan telapak tangan untuk wudlu atau mandi dengan air yang kurang dari dua qullah. Niat tersebut diletakkan setelah membasuh wajah dan akan memulai membasuh kedua tangan jika saat wudlu. Sedangkan pada saat mandi, niat ightirof tersebut diungkapkan setelah niat mandi dan sesaat sebelum menyiramkan air pada anggota badan.

Sehingga jika memenuhi salah satu ketentuan di atas, maka airnya dihukumi musta’mal, dalam arti tetap suci tapi tidak mensucikan.

Pada kasus lain, air bisa dikategorikan musta’mal sebab najis apabila:

  • Airnya kurang dari dua qullah.
  • Setelah digunakan tidak menjadi berubah.
  • Bekas dari penggunaan yang pertama untuk selain najis mugholladloh, dan yang ketujuh untuk najis mughalladlah.
  • Dialirkan (waridan) pada barang atau tempat yang terkena najis, walaupun Imam Ghazali tidak mensyaratkannya.
  • Tempat yang terkena najis dihukumi suci, yakni tidak lagi ditemukan sifat-sifat yang ada pada najis.
  • Tidak bertambah jumlahnya, hal ini setelah dikurangi jumlah air yang meresap pada tempat najis dan ditambahkan kotoran yang dikeluarkan secara perkiraan. Misalnya ada air sebanyak 10 liter untuk mensucikan pakaian, yang meresap dipakaian kira-kira 1 liter dan kotoran yang dikeluarkan 0,5 liter, berarti mestinya air masih 9,5 liter. Bila air yang sisa melebihi 9,5 liter, maka air tersebut hukumnya najis.

Sehingga apabila memenuhi ketentuan-ketentuan di atas, maka airnya dihukumi musta’mal (suci yang tidak mensucikan).

3. Tidak Berubah Sifatnya
 
Beberapa kriteria perubahan yang bisa mempengaruhi adalah sebagai berikut:

  • Perubahannya disebabkan perkara yang suci.
  • Perkara yang tidak bisa dipisahkan dari air (istilah fikih disebut mukhalith). Seperti air dicampur dengan kopi.
  • Bila Perubahan disebabkan oleh benda yang bisa dipisahkan dari air (istilah fikih disebut mujawir), maka tidak mempengaruhi hukum, tetap suci mensucikan, sekalipun perubahannya sangat terlihat sekali, seperti misalnya bambu yang direndam di kolam walaupun baunya menyengat.
  • Perubahannya menjadikan air tersebut tidak lagi disebut air mutlak.
  • Perubahannya disebabkan sesuatu yang sewajarnya bisa terhindari.

Bila perubahannya dari sesuatu yang secara normal tidak dapat terhindari, seperti; lumpur yang dilalui arus air atau jenis tanaman air (enceng gondok atau ganggang), maka air tetap suci mensucikan.

Bila hal-hal di atas benar terjadi, maka hukum airnya adalah suci yang tidak mensucikan. Walaupun demikian, air tersebut masih bisa diubah menjadi suci-mensucikan kembali. Yaitu dengan cara menghilangkan perubahannya, mungkin dengan menambahkan air sekira perubahannya hilang atau perubahannya hilang dengan sendirinya.

Perubahan di sini tidak dibedakan antara perubahan yang dapat terlihat oleh kasat mata (dhahiran) atau tidak terlihat oleh kasat mata (taqdiri). Semisal contoh adalah air mutlaq yang tercampur dengan sesuatu barang yang sifatnya sama persis dengan air tersebut.

Untuk mengetahui perubahannya adalah dengan cara barang tersebut diperumpamakan dengan sesuatu yang berbeda, dalam istilah fikih disebut mukholif wasath, yaitu:

  • Membuat perumpamaan dari warna dengan perasan anggur, rasa dengan air delima, dan bau dengan air menyan.
  • Memperaktikan perumpamaan tersebut sesuai dengan kadar yang mencampuri. Dengan cara satu persatu, yaitu dari perasan anggur, lalu dilihat bila menjadi berubah, maka tidak mensucikan. Bila tidak berubah, baru diteruskan dengan air delima, begitu seterusnya. Bila air benar-benar tidak berubah setelah dicoba ketiganya, maka air hukumnya suci mensucikan.

Hanya saja memperkirakan semacam itu hukumnya sunah, tidak sampai wajib. Sehingga seumpama langsung digunakan sudah dianggap mencukupi.

4. Tidak Mutanajjis (Terkena Najis)

Air yang terkena najis sesuai dengan keadaannya dapat dirinci menjadi dua kondisi:

a. Air kurang dari dua qullah

Hukumnya najis walaupun tidak berubah. Namun Ulama Muta'akhkhirin berpendapat tidak najis jika tidak berubah, hal ini sesuai dengan madzhab Maliki. Pendapat inilah yang lebih mudah diikuti agar tidak terjadi rasa was-was.

Yang dimaksud najis di sini yaitu najis yang tidak dima’afkan (ghoiru ma’fu). Sehingga jika berupa najis ma’fu maka air tetap suci.

Contoh-contoh najis ma’fu adalah:

  • Bangkai hewan yang tidak sampai mengeluarkan darah bila dibunuh, misalnya semut, nyamuk, kecoa dll. Dengan syarat tidak sengaja dimasukan, serta tidak sampai menjadikan air berubah.
  • Najis yang tidak terlihat oleh kasat mata.
  • Setiap najis yang sulit dihindari.

b. Air ada dua qullah atau lebih

Hukumnya menjadi najis bila berubah. Bila tidak berubah maka tidak najis. Perubahan di sini tidak dibedakan antara perubahan yang terlihat secara kasat mata (hissi) maupun yang tidak terlihat (taqdiri/ma’nawi), yaitu misalnya ada air yang kemasukan air seni, dimana semua sifat air seni tersebut telah hilang sehingga sama persis dengan air.

Untuk mengetahui perubahannya dengan cara barang tersebut diperumpamakan dengan sesuatu yang berbeda, dalam istilah fikih disebut mukholif al-asyad, yaitu:

  • Membuat perumpamaan dari warna dengan tinta, rasa dengan cukak dan bau dengan minyak misik.
  • Memperaktekan perumpama’an tersebut sesuai dengan kadar yang mencampuri. Dengan cara satu per satu, yakni dimulai dari tinta lalu dilihat berubah atau tidak. bila tidak berubah, baru diteruskan dengan cukak, dan begitu seterusnya. Bila air benar-benar tidak berubah setelah dicoba ketiganya, maka air hukumnya suci mensucikan.

Air mutanajjis ini bisa kembali mensucikan bila perubahannya hilang, mungkin dengan menambahkan air, dengan menguranginya sekira sisanya masih ada dua qullah atau dimungkinkan juga dapat hilang dengan sendirinya dengan syarat airnya ada dua  qullah.

Dalam bersuci menggunakan air sebaiknya memakai air yang disesuaikan dengan kondisi cuaca, dalam arti jika cuacanya panas maka sebaiknya menggunakan air yang agak dingin, bila cuacanya dingin sebaiknya menggunakan air hangat, dan disunnahkan juga menggunakan air yang tidak kembali pada wadahnya, seperti dengan air kran.

[Beberapa Mas’alah]

  • Perubahan air yang tidak menyeluruh pada tempatnya, hukumnya dapat dibedakan antara yang masuk area berubah dengan yang tidak masuk area berubah.
  • Perubahan air yang dari barang najis itu tidak dibedakan antara perubahan total (taghoyyur katsir) maupun sedikit, juga tidak dibedakan antara perubahan yang disebabkan oleh mujawir atau mukholit.
  • Air mengalir bersamaan najis hukumnya diperinci: Bila najisnya berhenti dan setiap ombak yang melaluinya kurang dari dua qullah, maka hukumnya najis walaupun tidak berubah dan jumlah keseluruhannya mencapai ratusan/ribuan liter. Akan tetapi, bila najisnya berjalan mengikuti arus, maka jikaa kurang dari dua qullah, maka yang dihukumi najis hanya pada ombak yang terdapat najisnya saja.
  • Benda cair selain air ketika kemasukan najis maka hukumnya najis walaupun jumlahnya sangat banyak.

[Ukuran Air Dua Qullah]

Bahasa “Dua qullah” adalah merupakan salah satu istilah dalam kitab-kitab fikih yang mempunyai pengertian tersendiri. Sehingga jangan sampai kita terjebak pada persepsi yang salah, yaitu air yang berada dalam dua kolah berapapun volumenya.

Maksud dua qullah [القلّتان] adalah ukuran air yang telah memenuhi standar air banyak, kaitannya dengan air musta’mal dan air mutanajjis. Menurut penelitian para ahli fikih, 1 qullah sama dengan 2,5 qirbah [القربة]. Sedangkan 1 qirbah sama dengan 100 rithl Baghdad-Iraq [الرطل بغدادي]. Sehingga air dua qullah sama dengan 500 rithl Baghdad.

Menurut Imam Nawawi, 1 rithl Baghdad [الرطل البغدادي] sama dengan 1284/7 Dirham. Menurut konversi satuan masa kini, 1 Dirham = 2,715 gram dan 1 rithl Baghdad = 349,071 gram. Jika 1000 gram air sama dengan 1 liter, maka volume 2-qullah adalah 174,535 liter. Jika berbentuk kubus, maka minimal panjang sisinya adalah 55,89 cm.

Referensi:
  • تحفة المحتاج في شرح المنهاج للإمام أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي وحاشيته للإمام عبد الحميد الشرواني والإمام أحمد بن قاسم العبادي
  • فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب المعروف بحاشية الجمل
  • التجريد لنفع العبيد = حاشية البجيرمي على شرح المنهج
  • مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج
  • إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين
  • حاشيتا قليوبي وعميرة على شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين للشيخ محيي الدين النووي
  • حاشية البيجوري على شرح ابن قاسم الغزي على متن أبي شجاع

CONVERSATION

1 comments:

  1. mohon maaff kang. kalau boleh, tolong dijelaskan lebih lanjut mengenai ightirof tadi. saya belum faham :)

    ReplyDelete