Menelaah Jargon 'Hubbul Wathan minal Iman’ (Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman) (Bag 1/3)


Slogan "Hubbul Wathan minal Iman" atau "Cinta Tanah Air sebagian dari Iman" yang sangat terkenal itu -konon merupakan jargon Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari sang pendiri NU, menurut para Ulama bukanlah perkataan Nabi. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa sesuatu yang bukan dari Nabi tidak serta merta menjadi keliru. Lalu bagaimana pandangan para ulama tekait hubbul wathan ini?

Di kalangan Salafi-Wahabi, ungkapan "cinta tanah air" tidaklah populer sebagaimana di lingkungan NU misalnya. Bahkan diantara ulamanya banyak yang menentang untuk mengaitkan antara "cinta tanah air" dengan "iman". Syeikh Al-Albani misalnya pernah mengatakan dalam Silsilah al-Ahadits adl-Dla'ifah (1/110, no. 36) bahwa:

"حب الوطن من الإيمان" موضوع، كما قال الصغاني وغيره، ومعناه غير مستقيم؛ إذ إن حب الوطن كحب النفس، والمال، ونحوه، كل ذلك غريزي في الإنسان، لا يمدح بحبه، ولا هو من لوازم الإيمان؛ ألا ترى أن الناس كلَّهم مشتركون في هذا الحب، لا فرق في ذلك بين مؤمنهم وكافرهم.أ.هـ، والله أعلم

"Cinta tanah air sebagian dari Iman" adalah hadis palsu sebagaiman dinyatakan oleh ash-Shaghani dan lainnya. Makna yang dikandungnya juga tidaklah benar. Karena cinta tanah air seperti halnya cinta diri sendiri, cinta harta atau semisalnya, yang kesemuanya itu hanyalah bersifat naluri pada diri manusia, yang tidak dipuji karena mencintainya dan bukan pula bagian dari prasyarat iman. Ingatlah, sesungguhnya manusia pada perkara ini adalah sama, baik yang mukmin maupun yang kafir"

Ulama besar dari kalangan mereka yang lain, Syeikh al-Utsaimin juga berkomentar yang tidak jauh berbeda dari Syeikh al-Albani tadi. Beliau menerangkan dalam Syarh al-Mandzumah al-Baiquniyah (70):

" حب الوطن من الإيمان" وهو مشهور عند العامة على أنه حديث صحيح ، وهو حديث موضوع مكذوب ، بل المعنى أيضاً غير صحيح بل حب الوطن من التعصب. اهـ
"Ungkapan 'Cinta tanah air sebagian dari Iman' sangatlah terkenal di kalangan awam sebagai hadis yang shahih, padahal termasuk hadis palsu dan bohong. Bahkan makna yang dikandungnya juga tidak benar, melainkan cinta tanah air merupakan bagian dari kefanatikan"
Di tempat lain, Syeikh al-Utsaimin menyinggung masalah itu dengan lebih panjang dalam karyanya, Syarh Riyadl ash-Shalihin, yang pada intinya beliau menyatakan:

"Kewajiban jihad dalam Islam adalah untuk menegakkan Kalimat Allah, bukan semata-mata karena membela tanah air. Jikalau kita berperang hanya karena nasionalisme, tentu tidak ada bedanya antara kita dengan orang kafir. Kita wajib berperang karena Agama Islam ada di negara kita. Adapun ungkapan 'cinta tanah air sebagian dari iman' maka itu palsu jika dikatakan berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Cinta tanah air -jika negaranya Islam- maka cintanya padanya semata-mata karena Islamnya. Dan tidak ada bedanya antara negara yang kau tinggali sekarang ini dengan negara lain yang jauh diantara negara-negara Islam lainnya. Karena kesemuanya termasuk tanah air Islam yang wajib bagi kita untuk menjaganya." (Syarh Riyadl ash-Shalihin, 1/27 dan 1/56)

Jadi, sekali lagi, sangatlah jelas bagi kita bahwa “hubbul wathan” menurut para ulama Salafi-Wahabi tidak bisa dikaitkan dengan tingkat keimanan seseorang. Karena -menurut mereka- rasa cinta kepada negara atau tanah air semata-mata karena timbul dari naluri manusia, seperti halnya mencintai harta-benda yang dimilikinya, dan manusia dalam hal ini adalah sama, baik dia itu mukmin maupun kafir. Lalu bagaimana pandangan ulama lain dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah terkait slogan “hubbul wathan minal iman” ini.

Kalau kita teliti di kitab-kitab kuning al-mu’tabarah, ungkapan “hubbul wathan minal iman” ini sebenarnya sudah pernah diteliti dan ditelaah oleh banyak ulama ahlissunnah tempo dulu. Mereka semua sepakat menyatakan bahwa ungkapan tersebut bukan berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam ash-Shaghani (w. 650 H) dalam Maudlu’atnya (48, no. 81), Imam Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) sebagaimana dikutip Syeikh Ali al-Qari, al-Hafidz as-Sakhawi (w. 902 H) dalam al-Maqashid al-Hasanah (297, no. 386), al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dalam ad-Duror al-Muntatsirah (108, no. 190), Syeikh Muhammad Thahir al-Hindi al-Fattani (w. 986 H) dalam Tadzkirah al-Maudlu’at (11), Syeikh al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam al-Maudlu’at al-Kubra (189, no. 164) dan al-Maudlu’at ash-Shughra (91, no. 105), Syeikh Mar’i ibn Yusuf al-Karmi (w. 1033 H) dalam al-Fawa’id al-Maudlu’ah (132, no. 174), Syeikh Najmuddin al-Ghazzi (w. 1061 H) dalam Itqan Ma Yahsunu min al-Akhbar (1/222. No. 628), Syeikh Isma’il al-Ajluni al-Jarrahi (w. 1162 H) dalam Kasyf al-Khafa’ (1/393, no. 1102) dan yang lainnya.

Walaupun demikian, kajian hadis seperti itu bukan lantas menjadikan jargon tersebut menjadi salah atau kliru sehingga patut ditolak. Apalagi konon slogan tersebut merupakan ungkapan atau kalam yang keluar dari sebagian Ulama Salaf, sebagaimana dikutip oleh Syeikh Mulla al-Qari. Sehingga perlu kajian lebih lanjut dari sisi kandungan maknanya, sebelum menyimpulkan apakah benar atau salah. Itu lah yang menjadi diskursus menarik diantara ulama-ulama terdahulu.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment