Mengenal Lebih Dekat Sang Penulis “Fathul Mu’in” (Bag 1/2)


Kitab Fath al-Mu’in sangatlah populer di pesantren-pesantren salaf tidak hanya di Indonesia tapi juga seluruh dunia, karena memang merupakan bagian dari kurikulum wajib bagi mereka yang mendalami Fiqh ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i. Kitab yang merupakan syarh dari Qurrah al-Ain ini mendapat antusias yang luar biasa dari para Ulama. Sayangnya, ditengah-tengah antusiasme yang begitu besar itu tidak diimbangi dengan pengenalan secara pantas terhadap sang penulis itu sendiri. Kami tidak menemukan biografi sang penulis secara memadai diantara syarh dan hasyiah yang telah kami sebut tadi. Oleh karenanya, kami merasa terpanggil untuk menulis biografi beliau berdasarkan beberapa referensi yang ditulis oleh para ulama dari India—tempat asal sang penulis—dan beberapa literatur yang lain. Dengan harapan semoga berkah beliau mengalir lebih deras khususnya kepada kami dan kepada para santri salaf pada umumnya.

Nama dan Silsilah Beliau

Beliau bernama lengkap al-Imam al-Faqih al-Allamah asy-Syaikh Ahmad Zainuddin ibn al-Qadhi Muhammad al-Ghazali ibn asy-Syaikh al-Imam Zainuddin al-Makhdum al-Kabir ibn as-Syaikh al-Qadhi Ali ibn asy-Syaikh al-Qadhi Ahmad al-Ma’bari al-Funnani al-Malibari al-Hindi asy-Syafi’i al-Asy’ari al-Qadiri. Demikian nama dan silsilah beliau berdasarkan catatan dan pendapat yang paling benar dan paling tahkik menurut para ulama dari Malibar (atau Malabar, yang sekarang mencakup wilayah negara bagian/state Kerala beserta distrik Kanyakumari, Tulu Nadu dan Kodagu), India. Beliau juga dikenal sebagai Syekh Zainuddin Makhdum II atau ash-Shaghir, untuk membedakan antara beliau dengan sang kakek yang dijuluki Syekh Zainuddin Makhdum I atau al-Kabir.

Ditemukan dalam karyanya berjudul “al-Ajwibah al-Ajibah an al-As’ilah al-Gharbiyah”, beliau menuliskan namanya sendiri sebagai Ahmad Zainuddin ibn al-Qadhi Muhammad al-Ghazali. Ini merupakan bukti yang paling nyata dan konkrit untuk membenarkan kekeliruan yang sudah terlanjur tersebar dimana-mana yang menyebutkan bahwa nama ayah beliau adalah Syekh Abdul Aziz. Kekeliruan seperti ini akan kita temukan di hampir semua hasyiah Fathul Mu’in, termasuk I’anah ath-Thalibin, Tarsyih al-Mustafidin, dan juga Nihayah az-Zain Syarh Qurrah al-Ain. Kesalahan seperti itu ditemukan juga di beberapa kitab biografis (misalnya Nuzhah al-Khawathir, Mu’jam al-Mu’allifin, al-A’lam dan yang lainnya) serta mayoritas percetakan dari Mesir atau lainnya (termasuk Mushtafa al-Babi al-Halabi, Dar al-Basha’ir, Dar al-Kutub al-Ilmiah dan sebagainya). Sedangkan Syekh Abdul Aziz yang disangka sebagai ayah beliau tadi, tak lain merupakan paman sekaligus guru beliau sendiri yang juga seorang ulama besar dan memiliki beberapa karya berbahasa Arab (Tarajim Ulama Syafi’iyah fi ad-Diyar al-Hindiyah, 81; Muqaddimah Irsyad al-Ibad, 16).

Ayah beliau, Syekh Muhammad al-Ghazali, merupakan ulama besar, seorang mufti dan qadhi di Malibar bagian utara. Ayah beliau ini lah yang membangun Masjid Jami’ Kunhippalli di Chombal, yang sekarang bagian dari distrik Kozhikode, Kerala. Beliau menikahi wanita yang shalihah disana yang berasal dari keluarga Valiyakath Karaketti—yang terkenal sebagai keluarga religius. Dari pasangan yang mulia inilah lahir sesosok yang mulia pula, yakni Syekh Ahmad Zainuddin—sang penulis Fathul Mu’in. Menurut pendapat yang paling rajih, beliau di lahirkan di Chombal dekat Mahe pada tahun 938 H/1532 M. Ada pendapat lain yang menyebutkan beliau tidak dilahirkan di Chombal, melainkan di Ponnani, yang keduanya masih bagian dari Kerala, bagian barat daya India.

Sudah sangat masyhur, beliau akhirnya menjadi ulama besar dalam Madzhab asy-Syafi’i, bahkan salah satu karyanya yang berjudul Fath al-Mu’in menjadi salah satu kurikulum wajib di madrasah-madrasah syafi’iyah. Menjadi aneh dan sangat disayangkan jika Brockelmann—seorang biografis Arab ternama—menyebutkan bahwa beliau bermadzhab Hanafi, dan lebih dari itu, dia juga mengkategorikan Fathul Mu’in sebagai kitab fiqh hanafi (Tarikh al-Adab al-Arabi, 9/234). Kesalahan seperti ini diikuti pula oleh Umar Ridha Kahhalah dalam Mu’jam al-Mu’allifin (1/741).

Kakek Beliau yang Tersohor

Kakek beliau yang bernama Syekh Abu Yahya Zainuddin al-Makhdum al-Kabir al-Ma’bari al-Funnani al-Malibari asy-Syafi’i al-Asy’ari merupakan sesosok ulama reformis dan pejuang besar. Menurut pendapat yang paling masyhur, Syekh Zainuddin I—nama singkat sang kakek—dilahirkan di Cochin pada hari Kamis, 12 Sya’ban 873 H/1467 M. Pada mulanya beliau belajar pada paman beliau sendiri, Syekh al-Qadhi Zainuddin Ibrahim ibn Ahmad—yang merupakan generasi pertama yang datang ke Cochin (atau Kochi, kota pelabuhan utama di distrik Ernakulam, Kerala, India) dari daerah asal Ma’bar (bagian dari distrik Jiblah, Ibb, Yaman). Kemudian beliau mengikuti sang paman untuk hijrah bersama-sama ke Ponnani (bagian dari distrik Malappuram, Kerala) yang terletak sekitar 115 km di sebelah barat laut Chocin. Beliau juga belajar berbagai ilmu kepada al-Qadhi Abu Bakr Fakhruddin al-Syaliyati al-Malibari selama kurang lebih tujuh tahun.

Setelah dirasa cukup mengenyam pengajaran di sekitar daerah kelahirannya, sang kakek akhirnya berkelana ke Mekah al-Mukarramah selama beberapa tahun—ada yang menyebut sekitar tujuh tahun (Dr. Ali Akbar, 2012). Lalu beliau menyebrang ke Mesir untuk belajar di Al-Azhar selama kurang lebih lima tahun. Disebutkan pula bahwa beliau termasuk generasi awal yang datang ke Al-Azhar dari wilayah Malibar. Selama di Al-Azhar beliau belajar kepada banyak ulama besar disana, semisal Syekh Abdullah ibn Ali al-Makudi (w. 901 H), Imam al-Hafidz as-Sakhawi (w. 902 H), Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H), Imam as-Samhudi (w. 911 H) dan beberapa ulama lainnya.

Sepulang dari perjalanan ilmiah yang cukup lama, sang kakek akhirnya kembali ke kampung asalnya, Ponnani. Beliau mulai berdakwah dan mengajarkan berbagai macam ilmu di daerahnya tersebut. Bahkan disebutkan oleh Syekh Abdul Hayyi al-Hasani dalam Nuzhah al-Khawathir (1/341), beliau mampu mengislamkan begitu banyak orang sampai-sampai tak terhitung jumlahnya. Beliau juga mampu mengajak penduduk Malibar untuk secara bergotong-royong membangun masjid besar di Ponnani—dikenal dengan Masjid Jami’ Ponnani atau Valiya Jum’ah Palli—yang kemudian menjadi pusat dakwah selevel Masjid Al-Azhar di Kairo atau Masjid al-Umawi di Damasqus. Atas jasa dan dakwah beliau juga, kota Ponnani terkenal sebagai “Mekah kecilnya Malibar” atau “Al-Azharnya Malibar” karena menjadi pusat terkemuka dalam pembelajaran Islam. Saking berjasanya, beliau digelari Al-Makhdum (seorang yang sangat terhormat sehingga patut dilayani) oleh penduduk Ponnani.


Sang kakek, Syekh Zainuddin I, tidak hanya aktif berdakwah, beliau juga sangat produktif menulis. Beliau mampu menelurkan banyak karya berbahasa Arab dalam berbagai bidang ilmu agama, seperti hadis, fikih, tasawuf, sirah, nahwu, sharaf, jihad dan lainnya. Diantara karya beliau ialah Mursyid al-Thullab ila al-Karim al-Wahhab (tasawuf), Siraj al-Qulub (tasawuf), Irsyad al-Qashidin ringkasan Minhaj al-Abidin, Tashil al-Kafiyah syarh Kafiyah ibn Hajib (nahwu), Hasyiah ala al-Irsyad karya ibn al-Muqri’ (fikih), nadzam Hidayah al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ (banyak disyarahi oleh para ulama setelahnya) dan masih banyak lagi (Nuzhah al-Khawathir, 1/342). Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Jumat, 16 Sya’ban 928 H/1522 M di Ponnani pada usia 57 tahun. Jasad mulia beliau dimakamkan di halaman Masjid Jami’ Ponnani yang hingga saat ini tidak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah. 

Dalam kehidupan keluarga, sang kakek ini dianugerahi tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-laki yang paling tua bernama Yahya (wafat ketika masih kecil), lalu Muhammad al-Ghazali (ayah dari sang penulis Fathul Mu’in), kemudian Abdul Aziz al-Makhdum (w. 994 H). Sang paman, Syekh Abdul Aziz, juga seorang ulama dan meninggalkan beberapa karya berbahasa arab, seperti Maslak al-Atqiya’ fi Syarh Hidayah al-Adzkiya’, al-Mutafarrid fi al-Fiqh asy-Syafi’i dan beberapa yang lain. Sang paman inilah yang sering disalah pahami sebagai ayah Syekh Ahmad Zainuddin, sang penulis Fath al-Mu’in, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Wallahu A’lam.

Bersambung...

*** Untuk lanjut ke bagian selanjutnya, klik LINK ini ***

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment