Hukum Memilih Pemimpin NonMuslim: Keputusan Bahtsul Masa’il ala NU

Setelah muncul fenomena Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang notabene seorang nonmuslim kemudian secara resmi diusung menjadi Calon Gubernur pada PILKADA DKI Jakarta (masa bakti 2017-2022), maka muncullah banyak sekali komentar bahkan yang bernuansa fatwa –walaupun bukan berasal dari ahlinya- yang berseliweran di media cetak maupun media sosial. Untuk menjernihkan pemahaman dan pengertian dalam mendudukkan masalah dengan semestinya, perlu kiranya kami memuat kembali fatwa resmi Ulama’-ulama’ NU tentang masalah terkait yang sebenarnya sudah sejak dulu -sebelum ketenaran Ahok- pernah dibahas secara kolektif dan dengan sangat hati-hati.

Fatwa tentang menguasakan urusan kenegaraan kepada orang nonmuslim pernah dikeluarkan oleh PBNU lewat Keputusan Bahtsul Masa’il al-Diniyah al-Waqi’iyyah pada Muktamar ke-30 NU di PP Lirboyo Kediri Jawa Timur yang diselenggarakan pada tanggal 21-27 November 1999 M. Kemudian pada Minggu kemarin, tepatnya pada tanggal 25 September 2016 M, PCNU Kota Surabaya mengkaji dengan lebih gamblang tentang bagaimana hukumnya seorang muslim memilih kandidat pemimpin nonmuslim, baik di tingkat daerah seperti Bupati/Walikota/Wakil, maupun di tingkat yang lebih tinggi seperti Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden. Berikut kami sampaikan hasil dari kedua Bahtsul Masa’il tersebut secara lengkap.

Semoga ada manfaatnya.
[1]
KEPUTUSAN BAHTSUL MASA'IL AL-DINIYAH AL-WAQI'IYYAH
MUKTAMAR XXX NU
DI PP. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR
TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999

A. Pertanyaan
Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam?

B. Jawaban
Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali dalam keadaan darurat, yaitu:
1. Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena faktor kemampuan.
2. Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.
3. Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa manfaat.
Catatan: Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahl al-dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.

C. Dasar Pengambilan Hukum
1.       Al-Quran Al-Karim
القرأن الكريم 
...وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا (141)
"dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS: An-Nisa’: 141)

2.       Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 72-73

تحفة المحتاج في شرح المنهاج و حواشي الإمام عبد الحميد الشرواني
.... (وَلَا يُسْتَعَانُ عَلَيْهِمْ بِكَافِرٍ) ذِمِّيٍّ أَوْ غَيْرِهِ إلَّا إنْ اُضْطُرِرْنَا لِذَلِكَ...
(قَوْلُ الْمَتْنِ وَلَا يُسْتَعَانُ إلَخْ) أَيْ يَحْرُمُ ذَلِكَ اهـ سم عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ تَنْبِيهٌ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَلَوْ دَعَتْ الضَّرُورَةُ إلَيْهِ لَكِنَّهُ فِي التَّتِمَّةِ صَرَّحَ بِجَوَازِ الِاسْتِعَانَةِ بِهِ أَيْ الْكَافِرِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَغَيْرُهُ إنَّهُ الْمُتَّجِهُ اهـ.

“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainnya kecuali jika sudah sangat terpaksa untuk melakukan itu.”
…”Ucapan pada kitab Matn ‘tidak boleh meminta bantuan dst’ artinya diharamkan melakukan itu (dari Syeikh Ibn Qosim al-Abbadi). Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj terdapat redaksi: secara dzohir meminta bantuan orang kafir tersebut tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan dharurat. Namun dalam kitab al-Tatimmah disebutkan tentang kebolehan meminta bantuan kepada orang kafir jika memang darurat, bahkan Imam al-Adzro’i dan yang lainnya menyatakan pendapat inilah yang dijadikan wajh (pegangan)”

3.       Hawasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 73

حواشي الإمام عبد الحميد الشرواني على تحفة المحتاج
...نَعَمْ إنْ اقْتَضَتْ الْمَصْلَحَةُ تَوْلِيَتَهُ فِي شَيْءٍ لَا يَقُومُ بِهِ غَيْرُهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ أَوْ ظَهَرَ فِيمَنْ يَقُومُ بِهِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خِيَانَةٌ وَأُمِنَتْ فِي ذِمِّيٍّ وَلَوْ لِخَوْفِهِ مِنْ الْحَاكِمِ مَثَلًا فَلَا يَبْعُدُ جَوَازُ تَوْلِيَتِهِ فِيهِ لِضَرُورَةِ الْقِيَامِ بِمَصْلَحَةِ مَا وُلِّيَ فِيهِ وَمَعَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَى مَنْ يُنَصِّبُهُ مُرَاقَبَتُهُ وَمَنْعُهُ مِنْ التَّعَرُّضِ لِأَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ بِمَا فِيهِ اسْتِعْلَاءٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ اهـ.

“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi walaupun dikarenakan ia takut kepada Hakim misalnya, maka boleh menyerahkannya karena dharurat ingin menegakkan kemaslahatan. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari adanya penguasaan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam.”

4.       Kanz al-Raghibin dan Hasyiyah al-Qulyubi, Jilid IV, h. 156

شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين و حاشيته للشيخ أحمد سلامة القليوبي (1069 هـ)
- (وَلَا يُسْتَعَانُ عَلَيْهِمْ بِكَافِرٍ) لِأَنَّهُ يَحْرُمُ تَسْلِيطُهُ عَلَى الْمُسْلِمِ...
قَوْلُهُ: (وَلَا يُسْتَعَانُ إلَخْ) فَيَحْرُمُ إلَّا لِضَرُورَةٍ.

“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir, karena haram memberi kekuasaan kepada orang kafir terhadap umat Islam kecuali karena dharurat.”

5.       Al-Ahkam al-Sulthaniyah, hal. 50 dan 54 

الأحكام السلطانية للإمام أبو الحسن علي بن محمد بن محمد بن حبيب البصري البغدادي، الشهير بالماوردي (المتوفى: 450هـ)
وَالْوَزَارَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: وَزَارَةُ تَفْوِيضٍ وَوَزَارَةُ تَنْفِيذٍ.
فَأَمَّا وَزَارَةُ التَّفْوِيضِ فَهُوَ أَنْ يَسْتَوْزِرَ الْإِمَامُ مَنْ يُفَوِّضُ إلَيْهِ تَدْبِيرَ الْأُمُورِ بِرَأْيِهِ، وَإِمْضَاءَهَا عَلَى اجْتِهَادِهِ،
.... وَأَمَّا وَزَارَةُ التَّنْفِيذِ فَحُكْمُهَا أَضْعَفُ وَشُرُوطُهَا أَقَلُّ؛ لِأَنَّ النَّظَرَ فِيهَا مَقْصُورٌ عَلَى رَأْيِ الْإِمَامِ وَتَدْبِيرِهِ،


[2]
Hukum Memilih Pemimpin NonMuslim
Keputusan Bahtsul Masa’il PCNU Kota Surabaya, 25 September 2016

MUSHOHIH
1. KH. Ahmad Asyhar Shofwan M.Pd.I.
2. KH. Mas Mahfudz

PERUMUS
1. KH. Ali Maghfur Syadzili Isk., S.Pd.I
2. KH. Sholihin Hasan, M.H.I.
3. K. Ma’ruf Khozin
4. Ust. Luqmanul Hakim, S.Pd.I
5. Ust. Nur Hadi, S.H.I.
6. Ust. Ahmad Muntaha AM
7. Ust. Mas Gholib Basyaiban

Sistem demokrasi dan pemilihan langsung yang berlaku di Indonesia memungkinkan semua orang berkompetisi menjadi kandidat pimpinan baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga terurailah monopoli etnik, ras maupun agama untuk menduduki tampuk kepempimpinan.

Namun demikian, secara riil hal ini memunculkan problem tersendiri dan menjadi perbincangan hangat ketika ci suatu daerah yang mayoritas masyarakatnya menganut agama atau merupakan suku/ras tertentu, sementara bakal calon pemimpin yang ada dan berkemungkinan memenangkan suksesi justru dari penganut agama atau suku/ras lainnya. Semisal daerah mayoritas muslim, justru yang kuat ternyata dari nonmuslim. Selain itu, adapula seorang muslim yang munkin saja secara politik lebih dekat dengan nonmuslim sehingga menjadi tim suksesnya.

Pertanyaan
  1. Apakah seorang muslim boleh memilih kandidat pemimpin nonmuslim, baik di tingkat daerah seperti Bupati/Walikota/Wakil, maupun di tingkat yang lebih tinggi seperti Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden?
  2. Apakah hukum memilih calon wakil rakyat (DPRD/DPR, DPD) sama hukumnya dengan memilih kandidat pemimpin nonmuslim?
  3. Apakah seorang muslim dibenarkan menjadi tim sukses calon pemimpin/wakil rakyat nonmuslim (eksekutif dan legislatif), karena kedekatan politik dan pertimbangan politik lain yang terkadang tidak dipahami oleh masyarakat pada umumnya?
Mukadimah
  1. Pembahasan permasalahan ini tidak dimaksudkan untuk menebarkan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dan merusak hubungan lahiriah (mu’amalah zhahirah) yang telah terjalin secara baik antara muslim dan nonmuslim di Indonesia. Namun benar-benar dimaksudkan sebagai petunjuk (irsyad) bagi kaum muslimin dalam berpartisipasi membangun negeri sesuai ajaran agama yang diyakininya.
  2. Pembahasan serupa pernah diselenggarakan dalam Muktamar NU Ke-30 di PP Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur, 21-27 November 1999. Namun keputusan tersebut tidak secara terang-terangan mencantumkan, bahwa nonmuslim yang menangani urusan kaum muslimin dalam kondisi darurat wajib harus dicegah agar tidak sampai menguasai dan mendominasi (isti’la’) satu orang pun dari kaum muslimin. Sebab itu, keputusan dalam pembahasan ini secara prinsip tidak bertentangan dengan keputusan Muktamar NU tersebut.
Jawaban 1

Hukum memilih pemimpin nonmuslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden adalah haram. Sebab, memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya. Hal ini juga selaras dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ. (المائدة: /51)
Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai penolong/penguasa. Sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Orang dari kalian yang menolong mereka, maka ia termasuk bagian darinya. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. al-Maidah: 51)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ. وَاتَّقُوا اللهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (المائدة: 57)
Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan orang-orang yang menjadikan agama kalian sebagai gurauan dan permainan dari golongan ahli kitab dari sebelum kalian dan orang-orang kafir sebagai penolong/penguasa. Bertakwalah kalian kepada Allah jikan kalian adalah orang-orang yang beriman.” (QS. al-Maidah: 51)

Beberapa Pertimbangan:
  1. Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan nonmuslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong nonmuslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum. Meskipun ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibromallisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada nonmuslim―baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya―, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin nonmuslim. Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya—baik dalam ucapan maupun perbuatan—terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan. Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin.
  2. Meskipun dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin (1) terdapat khilaf, seperti menjadikan nonmuslim sebagai wazir at-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat—yang lemah—yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin nonmuslim. Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas nonmuslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada. Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin nonmuslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar. Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidz maupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja.
  3. Sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat.
  4. Asumsi memilih pemimpin nonmuslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin.
  5. Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon: “Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim”, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat beberapa ulama, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin nonmuslim.
  6. Asumsi bahwa penafsiran kata ‘auliya dengan makna pemimpin/penguasa—dalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan nonmuslim, semisal QS. al-Maidah: 51 dan 57—adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin nonmuslim, tidak sepenuhnya benar. Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada nonmuslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah. Seperti dalam Husn as-Suluk al-Hafizh Daulah al-Muluk (h. 161) karya Muhammad bin Muhammad al-Mushili as-Syafi’i, Ma’alim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah (h. 44) karya Ibn al-Ukhuwwah al-Qurasyi as-Syafi’i, dan Siraj al-Muluk (h. 111) karya Muhamad bin al-Walid at-Tharthusyi al-Maliki.
Referensi
[1] تحرير الأحكام في تدبير أهل الإسلام  لابن جماعة الشافعي (ص 146-147)
ولا يجوز تولية الذمي في شيء من ولايات المسلمين إلا في جباية الجزية من أهل الذمة أو جباية ما يؤخذ من تجارات المشركين . فأما ما يجبى من المسلمين من خراج أو عشر أو غير ذلك فلا يجوز تولية الذمي فيه، ولا تولية شيء من أمور المسلمين. قال تعالى : ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا. ومن ولى ذميًا على مسلم فقد جعل له سبيلًا عليه. وقال تعالى: ولا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعضٍ ومن يتولهّم منكم فإنّه منهم، ولأن تولية الكافر على المسلم تتضمن إعلاءه عليه وإعزازه بالولاية، وذلك مخالف للشريعة وقواعدها.

[2] معالم القربة في طلب الحسبة لابن الأخوة القرشي الشافعي(1) (ص 43)
وَلَمَّا وُلِّيَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ الْبَصْرَةَ وَقَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t فَوَجَدَهُ فِي الْمَسْجِدِ فَاسْتَأْذَنَ عَلَيْهِ فَأَذِنَ لَهُ، وَاسْتَأْذَنَ لِكَاتِبِهِ، وَكَانَ نَصْرَانِيًّا. فَلَمَّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ وَرَآهُ، فَقَالَ: قَاتَلَكَ اللهُ يَا أَبَا مُوسَى، وَلَّيْتَ نَصْرَانِيًّا عَلَى الْمَالِ. وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إلَى بَعْضِ عُمَّالِهِ وَقَدْ اتَّصَلَ بِهِ أَنَّهُ اتَّخَذَ كَاتِبًا يُقَالُ لَهُ حَسَّانُ. بَلَغَنِي أَنَّكَ اسْتَعْمَلَتْ حَسَّانَ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ دِينِ الْإِسْلَامِ، وَاللهُ تَعَالَى يَقُولُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ. وَقَالَ تَعَالَى: لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا، وَلَعِبًا مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ، وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ، وَاتَّقُوا اللهَ إنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. وَإِذَا أَتَاك كِتَابِي هَذَا فَادْعُ حَسَّانَ إلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَسْلَمَ فَهُوَ مِنَّا، وَنَحْنُ مِنْهُ، وَإِنْ أَبَى فَلَا تَسْتَعِنْ بِهِ. فَلَمَّا جَاءَهُ الْكِتَابُ قَرَأَهُ عَلَى حَسَّانَ فَأَسْلَمَ وَعَلَّمَهُ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ. وَهَذَا أَصْلٌ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ فِي تَرْكِ الِاسْتِعَانَةِ بِالْكَافِرِ فَكَيْفَ اسْتِعْمَالُهُمْ عَلَى رِقَابِ الْمُسْلِمِينَ.

[3] سراج الملوك للطرطوشي المالكي (ص 111)
ولما استقدم عمر بن الخطاب رضي الله عنه أبا موسى الأشعري من البصرة وكان عاملاً عليها للحساب، دخل على عمر وهو في المسجد فاستأذن لكاتبه وكان نصرانياً فقال له عمر رضي الله عنه: قاتلك الله! وضرب بيده على فخذه، وليت ذمياً على المسلمين أما سمعت الله تعالى يقول: ” يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض ومن يتولهم منكم فإنه منهم؟ ” المائدة: 51 ألا اتخذت حنيفاً؟ قال: يا أمير المؤمنين لي كتابته وله دينه. فقال: لا أكرمهم إذ أهانهم الله ولا أعزهم إذ أذلهم الله ولا أدنيهم إذ أقصاهم الله. … وقال عمر بن أسد: أتانا كتاب عمر بن عبد العزيز إلى محمد بن المنتشر: أما بعد فإنه بلغني أن في عملك رجلاً يقال له حسان بن بردا على غير دين الإسلام، والله تعالى يقول: ” يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا الذين اتخذوا دينكم هزواً ولعباً من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم والكفار أولياء واتقوا الله إن كنتم مؤمنين ” المائدة: 57 فإذا أتاك كتابي هذا فادع حسان إلى الإسلام فإن أسلم فهو منا ونحن منه وإن أبى فلا تستعن به ولا تأخذ من غير أهل الإسلام على شيء من أعمال المسلمين، فقرأ الكتاب عليه فأسلم.

[4] تحفة المحتاج وحواشي الشرواني (ج 9 / ص 72-73)
(وَلَا يُسْتَعَانُ عَلَيْهِمْ بِكَافِرٍ) ذِمِّيٍّ أَوْ غَيْرِهِ إلَّا إِنْ اضْطُرِرْنَا لِذَلِكَ.
(قَوْلُ الْمَتْنِ وَلَا يُسْتَعَانُ إلَخْ) أَيْ يَحْرُمُ ذَلِكَ ا هـ سم عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ تَنْبِيهٌ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَلَوْ دَعَتْ الضَّرُورَةُ إلَيْهِ لَكِنَّهُ فِي التَّتِمَّةِ صَرَّحَ بِجَوَازِ الِاسْتِعَانَةِ بِهِ أَيْ الْكَافِرِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَغَيْرُهُ إنَّهُ الْمُتَّجِهُ ا هـ . (قَوْلُ الْمَتْنِ: بِكَافِرٍ) أَيْ لِأَنَّهُ يَحْرُمُ تَسْلِيطُهُ عَلَى الْمُسْلِمِ نِهَايَةٌ وَمَنْهَجٌ. زَادَ الْمُغْنِي: وَلِذَا لَا يَجُوزُ لِمُسْتَحِقِّ الْقِصَاصِ مِنْ مُسْلِمٍ أَنْ يُوَكِّلَ كَافِرًا فِي اسْتِيفَائِهِ وَلَا لِلْإِمَامِ أَنْ يَتَّخِذَ جَلَّادًا كَافِرًا لِإِقَامَةِ الْحُدُودِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ اهـ . وَقَالَ ع ش بَعْدَ نَقْلِ مَا ذُكِرَ عَنْ الزِّيَادِيِّ: أَقُولُ وَكَذَا يَحْرُمُ نَصْبُهُ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ. نَعَمْ، إِنْ اقْتَضَتِ الْمَصْلَحَةُ تَوْلِيَتَهُ فِي شَيْءٍ لَا يَقُومُ بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ ظَهَرَ فِيمَنْ يَقُومُ بِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خِيَانَةٌ وَأُمِنَتْ فِي ذِمِّيٍّ وَلَوْ لِخَوْفِهِ مِنِ الْحَاكِمِ مَثَلًا، فَلَا يَبْعُدُ جَوَازُ تَوْلِيَتِهِ فِيهِ لِضَرُورَةِ الْقِيَامِ بِمَصْلَحَةِ مَا وُلِّيَ فِيهِ. وَمَعَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَى مَنْ يُنَصِّبُهُ مُرَاقَبَتُهُ وَمَنْعُهُ مِنَ التَّعَرُّضِ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ بِمَا فِيهِ اسْتِعْلَاءٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ اهـ .

[5] تفسير آيات الأحكام (ج 1 / ص 181)
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ (28)
الحكم الثالث: هل تجوز تولية الكافر واستعماله في شؤون المسلمين؟ استدل بعض العلماء بهذه الآية الكريمة على أنه لا يجوز تولية الكافر شيئاً من أمور المسلمين ولا جعلهم عمالاً ولا خدماً ، كما لا يجوز تعظيمهم وتوقيرهم في المجلس والقيام عند قدومهم فإن دلالته على التعظيم واضحة.

[6] تحفة المحتاج وحواشي الشرواني (ج 9/ ص 298-299)
وَيُمْنَعُونَ مِنْ حَمْلِ السِّلَاحِ ، وَتَخَتُّمٍ ، وَلَوْ بِفِضَّةٍ ، وَاسْتِخْدَامِ مَمْلُوكٍ فَارِهٍ كَتُرْكِيٍّ ، وَمِنْ خِدْمَةِ الْأُمَرَاءِ كَمَا ذَكَرَهُمَا ابْنُ الصَّلَاحِ وَاسْتَحْسَنَهُ فِي الْأُولَى الزَّرْكَشِيُّ ، وَمِثْلُهَا الثَّانِيَةُ ، بَلْ أَوْلَى.
(قَوْلُهُ: وَمِنْ خِدْمَةِ الْأُمَرَاءِ) مَصْدَرٌ مُضَافٌ لِمَفْعُولِهِ، وَالْمُرَادُ بِخِدْمَتِهِمْ إيَّاهُمْ الْخِدْمَةُ بِالْمُبَاشَرَةِ ، وَالْكِتَابَةِ ، وَتَوْلِيَةِ الْمَنَاصِبِ ، وَنَحْوِ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ، وَاقِعٌ وَلِلسُّيُوطِيِّ فِي ذَلِكَ تَصْنِيفٌ حَافِلٌ ا هـ . رَشِيدِيٌّ عِبَارَةُ ع ش أَيْ : خِدْمَةٍ تُؤَدِّي إلَى تَعْظِيمِهِمْ كَاسْتِخْدَامِهِمْ فِي الْمَنَاصِبِ الْمُحْوِجَةِ إلَى تَرَدُّدِ النَّاسِ إلَيْهِمْ ، وَيَنْبَغِي أَنَّ الْمُرَادَ بِالْأُمَرَاءِ كُلُّ مَنْ لَهُ تَصَرُّفٌ فِي أَمْرٍ عَامٍّ يَقْتَضِي تَرَدُّدَ النَّاسِ عَلَيْهِ كَنُظَّارِ الْأَوْقَافِ الْكَبِيرَةِ ، وَكَمَشَايِخِ الْأَسْوَاقِ ، وَنَحْوِهِمَا ، وَأَنَّ مَحَلَّ الِامْتِنَاعِ مَا لَمْ تَدْعُ ضَرُورَةٌ إلَى اسْتِخْدَامِهِ بِأَنْ لَا يَقُومَ غَيْرُهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ مَقَامَهُ فِي حِفْظِ الْمَالِ ا هـ .

[7] رد المحتار – (ج 4/ ص 211)
وَلَا يَخْفَى أَنَّ اسْتِعْلَاءَهُ فِي الْبِنَاءِ عَلَى جِيرَانِهِ الْمُسْلِمِينَ خِلَافُ الصَّغَارِ …  وَلَا يَخْفَى أَنَّ لَفْظَ اسْتَعْلَى يَشْمَلُ مَا بِالْقَوْلِ وَمَا بِالْفِعْلِ.

[8] الأحكام السلطانية (ج 1 / ص 43)
(فَصْلٌ) وَأَمَّا وَزَارَةُ التَّنْفِيذِ فَحُكْمُهَا أَضْعَفُ وَشُرُوطُهَا أَقَلُّ، لِأَنَّ النَّظَرَ فِيهَا مَقْصُورٌ عَلَى رَأْيِ الْإِمَامِ وَتَدْبِيرِهِ. وَهَذَا الْوَزِيرُ وَسَطٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الرَّعَايَا وَالْوُلَاةِ يُؤَدِّي عَنْهُ مَا أَمَرَ وَيَنْفُذُ عَنْهُ مَا ذَكَرَ وَيُمْضِي مَا حَكَمَ وَيُخْبِرُ بِتَقْلِيدِ الْوُلَاةِ وَتَجْهِيزِ الْجُيُوشِ وَيَعْرِضُ عَلَيْهِ مَا وَرَدَ مِنْ مُهِمٍّ وَتَجَدَّدَ مِنْ حَدَثٍ مُلِمٍّ، لِيَعْمَلَ فِيهِ مَا يُؤْمَرُ بِهِ. فَهُوَ مُعِينٌ فِي تَنْفِيذِ الْأُمُورِ وَلَيْسَ بِوَالٍ عَلَيْهَا وَلَا مُتَقَلِّدًا لَهَا. وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَقُومَ بِذَلِكَ امْرَأَةٌ وَإِنْ كَانَ خَبَرُهَا مَقْبُولًا لِمَا تَضَمَّنَهُ مَعْنَى الْوِلَايَاتِ الْمَصْرُوفَةِ عَنْ النِّسَاءِ لِقَوْلِ النَّبِيِّr: مَا أَفْلَحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إلَى امْرَأَةٍ. وَلِأَنَّ فِيهَا مِنْ طَلَبِ الرَّأْيِ وَثَبَاتِ الْعَزْمِ مَا تَضْعُفُ عَنْهُ النِّسَاءُ، وَمِنَ الظُّهُورِ فِي مُبَاشَرَةِ الْأُمُورِ مَا هُوَ عَلَيْهِنَّ مَحْظُورٌ. وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْوَزِيرُ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ وَزِيرُ التَّفْوِيضِ مِنْهُمْ

[9] غياث الأمم (ص 114)
وذكر مصنف الكتاب المترجم بالأحكام السلطانية إن صاحب هذا المنصب يجوز أن يكون ذميا وهذه عثرة ليس لها مقيل وهي مشعرة بخلو صاحب الكتاب عن التحصيل فإن الثقة لا بد من رعايتها وليس الذمي موثوقا به في أفعاله وأقواله وتصاريف أحواله وروايته مردودة وكذلك شهادته على المسلمين فكيف يقبل قوله فيما يسنده ويعزيه إلى إمام المسلمين.

[10] روضة الطالبين (ج 6 / ص 367)
وأما تولية الذمي فإن كانت جباية من أهل الذمة كالجزية وعشر التجار جازت، وإن كانت من المسلمين ففي جوازها وجهان. قلت:  الأصح المنع. والله أعلم.

[11] حسن السلوك الحافظ دولة الملوك لمحمد بن محمد بن عبد الكريم الموصلي الشافعي (ص 161)
الفصل الثالث عشر عدم تولية اليهود والنصارى على المسلمين. لا يجوز تولية اليهود والنصارى على المسلمين ولا استكتابهم على بيت مال المسلمين. عمر بن الخطاب وكاتب أبي موسى الأشعري: وقد أنكر ذلك من السلف عمر بن الخطاب t. فإن عمر كان قد ولى أبا موسى الأشعري على البصرة فجاء إليه فقال: اكتب لي الحساب. فانطلق فكتب: أنفقت في كذا كذا ثم جاء به إلى عمر r. فلما رآه أعجبه. قال: من كتب لك هذا؟ قال: كاتب لي. قال: فادعه حتى يقرأ كتبا جاءتنا من الشام. فقال: يا أمير المؤمنين لا يدخل المسجد. فقال: لم أجنب هو؟ قال: لا ولكنه نصراني. قال: فضرب عمر فخذي ضربة كاد يكسرها، ثم قال: أما سمعت الله تعالى يقول: يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض. أفلا اتخذت كاتبا حنيفا يكتب لك؟ قال يا أمير المؤمنين، مالي وله، له دينه ولي كتابته. فقال عمر رضي الله عنه لا نأمنهم إذ خونهم الله ولا نكرمهم إذ أهانهم الله ولا ندنيهم إذ أقصاهم الله. ويروى أن خالد بن الوليد كتب إلى عمر بن الخطاب أن بالشام كاتبا لا يصلح خراج الشام إلا به. فكتب إليه: لا تستعمله. فراجعه وأخبر أنه لا يستغني عنه. فكتب إليه ينهاه عن استعماله. فعاوده وذكر أن المال يضيع إذا لم نستعمله، فكتب إليه عمر: مات النصراني والسلام. يريد بذلك أنه لو مات لكنت تستغني عنه، فقدر موته. … وكتب عمر بن عبد العزيز إلى عماله: ألا تولوا على أعمالنا إلا أهل القرآن. فكتبوا إليه: إنا وجدنا فيهم خيانة. فكتب إليهم: إن لم يكن في أهل القرآن خير فأجدر ألا يكون في غيرهم خير. الاستعانة بأهل الذمة في القتال. وعن ابن عباس أن النبي رضي الله عنه استعان بيهود بني قينقاع ورضخ لهم واستعان بصفوان بن أمية في قتال هوزان يوم حنين أخرجه الحازمي. فإن صح هذا فيكون تألفا لقلب من علم منه حسن رأي في الإسلام وليس في قتالهم معه رضي الله عنه نوع ولاية ولا استئمان لهم، بخلاف استكتابهم لا يجوز لما فيه من استئمانهم وقد خونهم الله. موقف الأئمة منه. قال الشافعي وآخرون: إن كان الكافر حسن الرأي بالمسلمين ودعت حاجة إلى الإستعانة به استعين به وإلا فيكره، وحمل الحديثين على هذين الحالتين. وقال مالك وأحمد وداود الظاهري: لا يستعان بهم ولا يعانون على الإطلاق، واستثنى مالك فقال: إلا أن يكونوا خدما للمسلمين، فيجوز. وقال أبو حنيفة : يستعان بهم ويعاونون على الإطلاق. والشافعي إنما يجوز الاستعانة بهم في الحرب إذا أمنت خيانتهم ويكونون بحيث لو انضمت فرقتا الكفر لقدر المسلمون على مقاومة الفرقتين. وبهذا يظهر لك تحريم استعمالهم على بيت المال، لأن خيانتهم فيه لا تؤمن وهي ولاية يشترط فيها الأمانة، والله تعالى قد شهد عليهم بالخيانة، فكيف يجوز استعمالهم عمالا على بيوت الله تعالى واستئمانهم عليها؟ وهل ذلك إلا بمثابة من دفع السيف إلى قاتله وأجهز على نفسه وأعان العدو على هلاكه؟

[12] قرة العين بفتاوى الشيخ إسماعيل الزين، ص 199
إِنَّ بِلَادَكُمُ اسْتَقَلَّتْ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلَكِنْ لَا يَزَالُ فِيْهَا الْكَثِيْرُ مِنَ الْكُفَّارِ وَأَكْثَرُ أَهْلِهَا مُسْلِمُوْنَ وَلَكِنِ الْحُكُوْمَةُ اعْتَبَرَتْ جَمِيْعَ أَهْلِهَا مُسْلِمُهُمْ وَكَافِرُهُمْ عَلَى السَّوَاءِ وَقُلْتُمْ إِنَّ شُرُوْطَ الذِّمَّةِ الْمُعْتَبَرَةِ أَكْثَرُهَا مَفْقُوْدَةٌ مِنَ الْكَافِرِيْنَ، فَهَلْ يُعْتَبَرُ ذِمِّيِّيْنَ أَوْ حَرْبِيِّيْنَ؟ وَهَلْ لَنَا نَتَعَرَّضُ لِإِيْذَائِهِمْ أَذًى ظَاهِرًا إِلَى أَخِرِ السُّؤَالِ؟ فَاعْلَمْ أَنَّ الْكُفَّارَ الْمَوْجُوْدِيْنَ فِيْ بِلَادِكُمْ وَفِيْ بِلَادِ غَيْرِكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الْمُسْلِمِيْنَ كاَلْبَاكِسْتَانِ وَالْهِنْدِ وَالشَّامِ وَالْعِرَاقِ وَالسُّوْدَانِ وَالْمَغْرِبِ وَغَيْرِهَا لَيْسُوْا ذِمِّيِّيْنَ وَلَا مُعَاهَدِيْنَ وَلَا مُسْتَأْمَنِيْنَ بَلْ حَرْبِيُّوْنَ حِرَابَةً مَحْضَةً … لَكِنِ التَّصَدَّى لِإِيْذَائِهِمْ أَذًى ظَاهِرًا كَمَا ذَكَرْتُمْ فِي السُّؤَالِ يُنْظَرُ فِيْهِ إِلَى قَاعِدَةِ جَلْبِ الْمَصَالِحِ وَدَرْءِ الْمَفَاسِدِ وَيُرجَّحُ دَرْءُ الْمَفَاسِدِ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ وَلَاسِيَّمَا وَأَحَادُ النَّاسِ وَأَفْرَادُهُمْ لَيْسَ فِيْ مُسْتَطَاعِهِمْ ذَلِكَ كَمَا هُوَ الْوَاقِعُ وَالْمُشَاهَدُ اهـ

[13] التبر المسبوك في نصيحة الملوك للغزالي (ج 1 / ص 16-17)
إعلم وتيقّن أن الله سبحانه وتعالى اختار من بني آدم طائفتين وهم الأنبياء عليهم الصلاة والسلام ليبينوا للعباد على عبادته الدليل، ويوضحوا لهم إلى معرفته السبيل، واختار الملوك لفظ العباد من اعتداء بعضهم على بعض، وملكهم أزمة الإبرام والنقض، فربط بهم مصالح خلقه في معايشهم بحكمته، وأحَلّهم أشرف محل بقدرته، كما يسمع في الأخبار السلطان ظل الله في أرضه …   والسلطان العادل من عدل بين العباد، وحذر من الجور والفساد، والسلطان الظالم شؤم لا يبقى ملكه ولا يدوم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم) . وفي التواريخ أن المجوس ملكوا العالم أربعة آلاف سنة وكانت المملكة فيهم وإنما دامت المملكة بعدلهم في الرعية، وحفظهم بالسوية، وإنهم ما كانوا يرون الظلم والجور في دينهم وملتهم جائز وعمروا بعدلهم البلاد، وأنصفوا العباد. وقد جاء في الخبر أن الله جلّ ذكره أوحى إلى داود عليه السلام أن آنْهِ قومك عن سب ملوك العجم فإنهم عمروا الدنيا وأوطنوها عبادي. فينبغي أن تعلم أن عمارة الدنيا وخرابها من الملوك فإذا كان السلطان عادلاً عمرت الدنيا وأمنت الرعايا كما كانت عليه في عهد أزدشير وأفريدون وبهرام كور وكسرى أنو شروان. وإذا كان السلطان جائراً خربت الدنيا كما كانت في عهد الضحاك وافراسيان وبرزدكنها الخاطىء وأمثال هؤلاء … وكان الملك في ذلك الزمان كسرى أنو شروان. وهو الذي فاق ملوك إيران، بعدله ونصفته، وتدبيره وسياسته، وذلك جميعه ببركات نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، لأنه ولد في زمانه، ووجد في أوانه. وعاش أنو شروان بعد مولده صلى الله عليه وسلم سنتين، والنبي صلى الله عليه وسلم افتخر بأيامه فقال: ولدت في زمن الملك العادل كسرى. والإسم الجيد خير الأشياء. والملوك الذين كانوا قبله كانت همتهم في عمارة الدنيا والعدل بين الرعية وحفظ الجسم بالسياسة وحسن الإنالة وآثار عمارتهم التي أثروها إلى اليوم ظاهرة في العالم وكل بلد يعرف بإسم ملكه لأنهم عمروا المواضع، وبنوا الضياع والمزارع، واستخرجوا القنوات والمصانع واظهروا ما كان خافياً من مياه العيون وجميع ما ذكرناه كان أنو شروان يعمره بعدله وإنصافه، مع تجنبه الإسراف في عفافه.
واعلم: أن أولئك الملوك القدماء همتهم واجتهادهم في عمارة ولاياتهم بعدهم. روي أنه كلما كانت الولاية أعمر، كانت الرعية أوفى وأشكر. وكانوا يعلمون أن الذي قالته العلماء، ونطقت به الحكماء، صحيح لا ريب فيه وهو قولهم: إن الدين بالملك، والملك بالجند، والجند بالمال والمال بعمارة البلاد، وعمارة البلاد بالعدل في العباد. فما كانوا يوافقون أحداً على الجور والظلم، ولا يرضون لحشمهم بالخرق والغشم، علماً منهم أن الرعية لا تثبت على الجور وأن الأماكن تخرب إذا استولى عليها الظالمون، ويتفرق أهل الولايات ويهربون في ولايات غيرها ويقع النقص في الملك ويقل في البلاد الدخل وتخلو الخزائن من الأموال ويتكدر عيش الرعايا لأنهم لا يحبون جائراً، ولا يزال دعاؤهم عليه متواتراً، فلا يتمتع بمملكته، وتسرع إليه دواعي هلكته …
نكتة: الدين والملك توأمان مثل أخوين ولدا من بطن واحد فيجب أن يهتم ويجتنب الهوى، والبدعة والمنكر والشبهة وكل ما يرجع بنقصان الشرع وإن علم أن في ولايته من يتهم بدينه ومذهبه أمر بإحضاره وتهديده، وزجره ووعيده، فإن تاب، وإلا أوقع عليه العقاب، ونفاه عن ولايته ليطهر الولاية من إغوائه وبدعته، وتخلو من أهل الأهواء.

[14] مفاتيح الغيب – (ج 18 / ص 61)
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ. (هود: 117).
اعلم أنه تعالى بين أنه ما أهلك أهل القرى إلا بظلم وفيه وجوه. الوجه الأول: أن المراد من الظلم ههنا الشرك. قال تعالى: إِنَّ الشّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان: 13). والمعنى أنه تعالى لا يهلك أهل القرى بمجرد كونهم مشركين إذا كانوا مصلحين في المعاملات فيما بينهم. والحاصل أن عذاب الاستئصال لا ينزل لأجل كون القوم معتقدين للشرك والكفر بل إنما ينزل ذلك العذاب إذا أساؤا في المعاملات وسعوا في الإيذاء والظلم ولهذا قال الفقهاء إن حقوق الله تعالى مبناها على المسامحة والمساهلة وحقوق العباد مبناها على الضيق والشح ويقال في الأثر الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم فمعنى الآية وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ أي لا يهلكهم بمجرد شركهم إذا كانوا مصلحين يعامل بعضهم بعضاً على الصلاح والسداد وهذا تأويل أهل السنة لهذه الآية. قالوا: والدليل عليه، أن قوم نوح وهود وصالح ولوط وشعيب إنما نزل عليهم عذاب الاستئصال لما حكى الله تعالى عنهم من إيذاء الناس وظلم الخلق.

[15] سراج الملوك للطرطوشي المالكي (ج 1 / ص 41-43)
العدل ينقسم قسمين: قسم إلهي جاءت به الأنبياء والرسل عليهم السلام عن الله تعالى، والثاني ما يشبه العدل والسياسة الإصلاحية التي هرم عليها الكبير ونشأ عليها الصغير، وبعيد أن يبقى سلطان أو تستقيم رعيته في حال إيمان أو كفر بلا عدل قائم ولا ترتيب للأمور ثابت، فذلك مما لا يمكن ولا يجوز. وقد ذكرنا في أول الكتاب أن سليمان بن داود سلب ملكه حين جلي الخصمان بين يديه، وكان لأحدهما خاصة بسليمان فقال في نفسه: وددت أن يكون الحق لخاصتي فأقضي له، فسلبه الله تعالى ملكه وقعد الشيطان على كرسيه. فاجعل العدل سياستك تسقط عنك جميع الآفات المفسدة للسياسة، وتقوم لك جميع الشرائط التي تقوم بها للمملكة. قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه: إمام عادل خير من مطر وابل، وأسد حطوم خير من سلطان ظلوم، وسلطان ظلوم خير من فتنة تدوم. … وأما العدل النبوي فأن يجمع السلطان إلى نفسه حملة العلم الذين هم حفاظه ورعاته وفقهاؤه، وهم الأدلاء على الله والقائمون بأمر الله، والحافظون لحدود الله والناصحون لعباد الله. وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن الدين النصيحة! إن الدين النصيحة! إن الدين النصيحة! قالوا: لمن يا رسول الله؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم. … وأما القسم الثاني من العدل وهو السياسة الاصطلاحية، وإن كان أصلها على الجور فيقوم بها أمر الدنيا، وكأنها تشاكل مراتب الإنصاف على نحو ما كانت عليه ملوك الطوائف في أيام الفرس. وكانوا كفاراً بالله تعالى يعبدون النيران ويتبعون هواجس الشيطان، فتواضعوا بينهم سنناً وأسسوا لهم أحكاماً، وأقاموا لهم مراتب في النصفة بين الرعايا واستجباء الخراجات، وتوظيف المكوس على التجار. كل ذلك بعقولهم على وجوه ما أنزل الله بها من سلطان ولا نصب عليها من برهان. بيد أنه لما جاءت الشريعة من عند الله تعالى على لسان نبيه صاحب المعجزة محمد r، فمنها ما أقرته في نصابه، ومنها نسخته وأبطلت حكمه. فعادت الحكمة البالغة أمر الله تعالى والحكم بما أنزل الله وبطل ما سواه. وكان ملكهم محفوظاً برعايتهم للقوانين المألوفة بينهم، فانقطع بذلك حبل الهمل، فكانوا يقيمون بها واجب الحقوق ويتعاطون بها ما لهم وعليهم. وعن هذا كان يقال: إن السلطان الكافر الحافظ لشرائط السياسة الاصطلاحية أبقى وأقوى من السلطان المؤمن العدل في نفسه المضيع للسياسة النبوية العدلية، والجور المرتب أبقى من العدل المهمل. إذ لا شيء أصلح للسلطان من ترتيب الأمور ولا شيء أفسد له من إهمالها.

Jawaban 2

Hukum memilih calon wakil rakyat nonmuslim (DPRD/DPR—yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan—, dan DPD—yang memiliki fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan—) sama dengan hukum memilih pemimpin nonmuslim yaitu haram, karena termasuk memberi kuasa nonmuslim atas kaum muslimin dan pemilih tidak mampu mencegahnya dari mengkhianati kepentingan kaum muslimin.

Referensi
[1] حسن السلوك الحافظ دولة الملوك لمحمد بن محمد بن عبد الكريم الموصلي الشافعي (ص 161)
الفصل الثالث عشر عدم تولية اليهود والنصارى على المسلمين. لا يجوز تولية اليهود والنصارى على المسلمين ولا استكتابهم على بيت مال المسلمين. … والشافعي إنما يجوز الاستعانة بهم في الحرب إذا أمنت خيانتهم ويكونون بحيث لو انضمت فرقتا الكفر لقدر المسلمون على مقاومة الفرقتين. وبهذا يظهر لك تحريم استعمالهم على بيت المال، لأن خيانتهم فيه لا تؤمن وهي ولاية يشترط فيها الأمانة، والله تعالى قد شهد عليهم بالخيانة، فكيف يجوز استعمالهم عمالا على بيوت الله تعالى واستئمانهم عليها؟ وهل ذلك إلا بمثابة من دفع السيف إلى قاتله وأجهز على نفسه وأعان العدو على هلاكه؟

[2] حواشي الشرواني (ج 9 / ص 72-73)
وَقَالَ ع ش بَعْدَ نَقْلِ مَا ذُكِرَ عَنْ الزِّيَادِيِّ: أَقُولُ وَكَذَا يَحْرُمُ نَصْبُهُ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ. نَعَمْ، إِنْ اقْتَضَتِ الْمَصْلَحَةُ تَوْلِيَتَهُ فِي شَيْءٍ لَا يَقُومُ بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ ظَهَرَ فِيمَنْ يَقُومُ بِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خِيَانَةٌ وَأُمِنَتْ فِي ذِمِّيٍّ وَلَوْ لِخَوْفِهِ مِنِ الْحَاكِمِ مَثَلًا، فَلَا يَبْعُدُ جَوَازُ تَوْلِيَتِهِ فِيهِ لِضَرُورَةِ الْقِيَامِ بِمَصْلَحَةِ مَا وُلِّيَ فِيهِ. وَمَعَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَى مَنْ يُنَصِّبُهُ مُرَاقَبَتُهُ وَمَنْعُهُ مِنَ التَّعَرُّضِ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ بِمَا فِيهِ اسْتِعْلَاءٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ اهـ .

[3] الفقه الإسلامي وأدلته (ج 8 / ص 342)
الفرق بين الوزارتين: ذكر الماوردي فروقا ثمانية بين الوزارتين، أربعة منها تتعلق بالشروط، والأربعة الأخرى بالصلاحيات. أما الفروق العائدة للشروط والمؤهلات فهي: 1 – الحرية: مطلوبة في وزارة التفويض، وغير مطلوبة في وزارة التنفيذ. 2 – الإسلام: مطلوب في وزارة التفويض، دون التنفيذ. 3 – العلم بالأحكام الشرعية (الاجتهاد): مطلوب في وزارة التفويض لا التنفيذ. 4 – المعرفة بشؤون الحرب والاقتصاد كالخراج: مطلوبة في وزارة التفويض لا التنفيذ.

Jawaban 3

Orang Islam tidak dibenarkan (haram) menjadi tim sukses calon pemimpin/wakil rakyat nonmuslim, sebab termasuk menolong kemungkaran dan menjalin hubungan sosial dengan nonmuslim yang diharamkan.

Referensi
[1] الجامع لأحكام القرآن (ج 6 / ص 46)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (المائدة: 2)
الثالثة عشرة قوله تعالى: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى. قال الأخفش: هو مقطوع من أول الكلام، وهو أمر لجميع الخلق بالتعاون على البر والتقوى؛ أي ليعن بعضكم بعضا ، وتحاثوا على ما أمر الله تعالى وأعملوا به، وانتهوا عما نهى الله عنه وامتنعوا منه … ويجب الإعراض عن المتعدي وترك النصرة له ورده عما هو عليه.

[2] بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية (ج 5 / ص 198)
(التَّاسِعُ وَالْخَمْسُونَ) (الدَّلَالَةُ) بِاللِّسَانِ (عَلَى الطَّرِيقِ وَنَحْوِهِ لِمَنْ يُرِيدُ الْمَعْصِيَةَ) (فَإِنَّهَا لَا تَجُوزُ) لِأَنَّ لِلْوَسَائِلِ حُكْمَ الْمَقَاصِدِ وَأَنَّ مَا يُفْضِي إلَى الْمَعْصِيَةِ مَعْصِيَةٌ (لِأَنَّهَا إعَانَةٌ عَلَى الْمَعْصِيَةِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ. قِيلَ هُنَا خَبَرُ الدَّيْلَمِيِّ: الظَّلَمَةُ وَأَعْوَانُهُمْ فِي النَّارِ. (وَفِي الْخُلَاصَةِ) (ذِمِّيٌّ سَأَلَ مُسْلِمًا عَنْ طَرِيقِ الْبَيْعَةِ) (لَا يَنْبَغِي لَهُ) أَيْ لَا يَجُوزُ (أَنْ يَدُلَّهُ عَلَيْهَا انْتَهَى) لَكِنْ قَالُوا لَا ضَمَانَ بِالدَّلَالَةِ وَإِنْ قَالُوا بِهِ بِالْغَمْزِ وَالسِّعَايَةُ فِيهِ إشَارَةٌ إلَى أَنَّ طَاعَةَ الْكَافِرِ مَعْصِيَةٌ.

[3] قواعد الأحكام في مصالح الأنام – (ج 1 / ص 133)
ولحقوق بعض المكلفين على بعض أمثلة كثيرة: منها التسليم عند القدوم، وتشميت العاطس، وعيادة المرضى، ومنها الإعانة على البر والتقوى وعلى كل مباح، ومنها ما يجب على الإنسان من حقوق المعاملات، ومنها الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر؛ لأن الأمر بالمعروف سعي في جلب مصالح المأمور به، والنهي عن المنكر، سعي في درء مفاسد المنهى عنه، وهذا هو النصح لكل مسلم، وقد بايع صلى الله عليه وسلم على النصح لكل مسلم.

[4] مفاتيح الغيب (ج 8 / ص 10-11)
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ. (آل عمران: 28)
واعلم أن كون المؤمن مواليًا للكافر يحتمل ثلاثة أوجه. أحدها: أن يكون راضيًا بكفره ويتولاه لأجله، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوِّبًا له في ذلك الدين وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر، فيستحيل أن يبقى مؤمنًا مع كونه بهذه الصفة. فإن قيل أليس أنه تعالى قال: وَمَن يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيء؟ وهذا لا يوجب الكفر فلا يكون داخلًا تحت هذه الآية. لأنه تعالى قال: ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ، فلا بد وأن يكون خطابًا في شيء يبقى المؤمن معه مؤمناً. وثانيها: المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر وذلك غير ممنوع منه.والقسم الثالث: وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة والمظاهرة والنصرة إما بسبب القرابة أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه، وذلك يخرجه عن الإسلام.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment