“Modifikasi” Adzan saat Menghadapi Wabah yang Menakutkan


Akhirnya, Dewan Ulama Senior Arab Saudi mengeluarkan instruksi per tanggal 17 Maret 2020 untuk menangguhkan shalat berjamaah termasuk shalat Jum’at di masjid-masjid setempat, kecuali dua masjid mulia: Masjid Al Haram dan Masjid An Nabawi. Ketika tiba waktu shalat, masjid-masjid tersebut cukup mengumandangkan adzan yang telah “dimodifikasi”. Instruksi dan himbauan seperti ini terpaksa dikeluarkan karena khawatir akan penyebaran virus Corona yang mematikan itu. Larangan yang sama telah diberlakukan sebelumnya di beberapa negara lain, seperti Kuwait, UEA, Qatar dan Turki. Modifikasi adzan yang dimaksud disini ialah adanya himbauan untuk mendirikan shalat di rumah masing-masing—yang dalam bahasa Arab berbunyi “Shallū fî rihālikum”, “Shallū fî buyūtikum” atau yang semisalnya.

Dari peristiwa ini, timbul beberapa pertanyaan yang barangkali sedang mengganjal di pikiran kita. Diantaranya ialah:

1. Apa hukumnya memodifikasi redaksi adzan seperti kasus di atas?

Hukumnya adalah sunnah jika dalam kondisi tertentu sebagaimana dinyatakan langsung oleh Imam Asy Syafi’i dalam karyanya Al Umm (1/178-179). Beliau berkata:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : إذَا كَانَتْ لَيْلَةً مَطِيرَةً أَوْ ذَاتَ رِيحٍ وَظُلْمَةٍ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقُولَ الْمُؤَذِّنُ إذَا فَرَغَ مِنْ أَذَانِهِ أَلَا صَلُّوا في رحالكم ، قال : فَإِنْ قَالَهُ فِي أَثْنَاءِ الْأَذَانِ بَعْدَ الْحَيْعَلَةِ فَلَا بَأْسَ 
“Ketika malam hari turun hujan lebat atau berangin dan gelap, maka disunnahkan bagi muazin ketika selesai azan untuk berseru ‘Alā shallū fî rihālikum’. Jika muazin mengucapkannya di tengah azan—setelah hai’alah/hayya alas shalah, maka tidak apa-apa”.
Beberapa kondisi tertentu yang dimaksud di sini adalah adanya uzur syar’i yang menyebabkan diperbolehkannya meninggalkan jamaah. Termasuk diantaranya adalah khawatir akan timbulnya bahaya pada diri sendiri, sebagimana ditegaskan oleh Imam Asy  Syairazi (w. 476 H) dalam Al Muhadzdzab (1/178) berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud (551) dari Ibn Abbas. Barangkali adanya wabah virus Corona termasuk kategori an yakhafa dlararan fi nafsihi (khawatir akan bahaya pada dirinya).

Termasuk uzur syar’i yang lain adalah terjadinya gempa bumi, sebagaimana dicatat Imam Ibn Hajar Al Haitami (w. 974 H) dalam Tuhfah Al Muhtaj (2/276) dan Syeikh Al Khathib Asy Syirbini (w. 977 H) dalam Mughni Al Mughtaj (1/475). 

2. Adakah dalil yang mendukung modifikasi azan ini?

Jelas sekali ada. Bahkan pada zaman Nabi sudah pernah terjadi modifikasi adzan seperti itu. Misalnya ada riwayat shahih dari Ibn Umar yang menyebutkan:

أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاةِ فِي لَيلَةٍ ذَاتِ بَردٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ، فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ: أَلا صَلُّوا فِي رِحَالِكُم، أَلا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَأمُرُ المُؤَذِّنَ إِذَا كَانَت لَيلَةٌ بَارِدَةٌ أَو ذَاتُ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ أَن يَقُولَ: أَلا صَلُّوا فِي رِحَالِكُم. رواه أحمد (2/ 10 و 53)، والبخاري (632)، ومسلم (697) (22 و 23)، وأبو داود (1060 - 1064)، والنسائي (2/ 15)، وابن ماجه (937).
  
Bahwa beliau pernah menyeru shalat pada malam yang sangat dingin dan hujan angin, di akhir seruannya ia berkata: “Alā shallū fî rihālikum”, “Alā shallū fî rihālikum” (tidak sebaiknyakah kalian shalat di persinggahan kalian?). Kemudian katanya: "Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah menyuruh mu'adzinnya jika malam sangat dingin atau terjadi hujan, yaitu ketika safar untuk mengumandangkan “Alā shallū fî rihālikum”."

Shahabat lain, yakni Abdullah bin Abbas pernah juga menyuruh muazinnya untuk menambahkan “Shallū fî buyūtikum” (Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian) ketika turun hujan di waktu shalat Jum’at. Orang-orang pun terlihat heran akan kejadian itu. Maka beliau berkata:

إِنَّ الجُمُعَةَ عَزمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهتُ أَن أُحرِجَكُم فَتَمشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحضِ. رواه أحمد (1/ 277)، والبخاري (901)، ومسلم (699) (26)، وأبو داود (1066)، وابن ماجه (939).

“Shalat jum'at memang wajib, namun aku tidak suka jika harus membuat kalian keluar sehingga kalian berjalan di lumpur dan comberan."

3. Di bagian mana tambahan “Shallū fî Rihālikum atau Shallū fî Buyūtikum” seharusnya diletakkan?

Sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’i sebelumnya, tambahan “Alā shallū fî rihālikum”, “Shallū fî Rihālikum”, atau “Shallū fî Buyūtikum” boleh diletakkan setelah azan atau setelah hai’alatain (bacaan Hayya ala as shalah dan Hayya ala al falah). Akan tetapi, yang lebih utama adalah meletakkannya setelah azan supaya sempurna susunan redaksi adzannya (Syarh Sunan Abi Dawud li Ibn Raslan, 5/499).

Lalu bagaimana dengan praktik yang dilakukan kebanyakan orang, yakni: mempergunakan “Shallū fî Rihālikum”, atau “Shallū fî Buyūtikum” sebagai ganti dari hai’alatain? Dalam mazhab Syafi’i terdapat perbedaan pendapat terkait hal tersebut. Sebagian ulama menyebutkan adzannya menjadi tidak sah, sebagaimana disebutkan dalam Nihayah Al Muhtaj (1/409). Namun ada juga yang mengatakan boleh-boleh saja, seperti yang tertera dalam Mughni Al Muhtaj (1/322).

4. Ketika muazzin mengumandangkan “Shallū fî Rihālikum” atau “Shallū fî Buyūtikum”, bagaimana kita menjawabnya?

Imam Jamaluddin Al Isnawi (w. 772 H) menjelaskan jikalau teks “Shallū fî rihālikum” atau “Shallū fî buyūtikum” bukan termasuk kalimat zikir, jadi kita tidak bisa menjawab dengan menirukannya. Akan tetapi, panggilan “Shallū fî rihālikum” ini bisa diqiyaskan (dianalogikan) seperti kalimat Hai’alah, sehingga kita bisa menjawabnya seperti saat menjawab Hai’alah, yakni memakai “Lā haula wa lā quwwata illa billah” (Al Muhimmat, 2/468). Penjelasan Imam Al Isnawi ini diikuti oleh ulama-ulama setelahnya, semisal Imam Zakaria Al Anshari (w. 926 H) dalam Fath Al Wahhab (1/41), Imam Ibn Hajar Al Haitami (w. 974 H) dalam Tuhfah Al Muhtaj (1/481), dan yang lainnya.

5. Apakah kita masih tetap mendapatkan pahala berjamaah di masjid saat kita tidak menunaikannya karena suatu uzur?

Imam An Nawawi (w. 676 H) dalam Al Majmu’ (4/203-204) secara tegas menyatakan bahwa jamaah bisa menjadi gugur karena beberapa uzur syar’i, baik kita beranggapan jika shalat jamaah hukumnya sunnah mu’akkadah, fardlu kifayah, ataupun fardlu ain. Maksud dari gugur di sini adalah hilang hukum makruhnya (jika kita menganggap hukumnya sunnah mu’akkadah) atau gugur dosanya (jika beranggapan hukumnya fardlu). Bukan bearti ketika meninggalkan shalat berjamaah karena suatu uzur, akan tetap memperoleh pahala jamaah. Menurut beliau tidaklah demikian, keutamaan berjamaah tidak akan diperoleh dalam kasus seperti itu—dengan tanpa ragu-ragu. 

Akan tetapi, beberapa ulama lain—termasuk sekelompok ulama terdahulu—mempunyai pendapat yang berbeda dengan Imam An Nawawi. Mereka menyatakan bahwa keutamaan berjamaah akan tetap diperoleh jika kita bermaksud untuk mengerjakannya seandainya tidak ada uzur. Berbeda lagi dengan pendapat Imam As Subki, menurut beliau keutamaan berjamaah akan tetap diperoleh bagi mereka yang terbiasa melanggengkannya (Tuhfah Al Muhtaj, 2/277).

Wallahu A’lam.

@Abdul Latif Ashadi

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment